Program Rumah Murah Jokowi Diduga Tersendat, Ini 3 Sebabnya!
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah dan pengembang masih menghadapi berbagai sejumlah kendala dalam membangun rumah subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Sekretaris Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Dedy Syarif Usman mengatakan salah satu masalah itu adalah ketersediaan lahan.
"Sekarang ini semua pengembang sudah kesulitan mencari lahan terutama untuk yang MBR," kata Dedy dalam diskusi yang dikutip pada Senin, (4/9/2023).
Dedy menuturkan ketersediaan lahan tersebut bisa dicari di daerah pinggiran kota, namun lokasinya terbilang cukup jauh dari lokasi kerja penghuninya.
Menurut dia, masalah itu membuat minat orang untuk membeli rumah subsidi menjadi berkurang, kendati harganya miring. "Kalau terlalu jauh orang enggak mau juga," kata dia.
Sebagaimana diketahui, penyediaan rumah murah sudah menjadi program pemerintah Jokowi. Sejak dilantik 2015, Jokowi sempat meluncurkan program 1 juta rumah untuk masyarakat kurang mampu.
Program itu dicanangkan untuk mengurangi angka backlog perumahan yang pada 2021 mencapai 12,72 juta. Khusus untuk rumah bersubsidi, pemerintah memberikan batasan harga maksimal dan luas rumah maksimal yang diperbarui hampir setiap tahun.
Selain penyediaan rumah secara fisik, pemerintah juga menyediakan fasilitas pembiayaan agar masyarakat menengah ke bawah dapat memiliki rumah dengan mencicil.
Di antara program itu adalah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). FLPP diklaim memiliki sejumlah keunggulan di antaranya bunga rendah 5% dengan tenor 20 tahun.
Hingga 2023, jumlah dana FLPP yang telah digelontorkan pemerintah sejak 2010 adalah Rp 108,5 triliun.
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah mengatakan anggotanya sempat mengeluhkan pemerintah yang tak kunjung menaikkan batasan harga rumah subsidi. Pengetatan harga itu dilakukan untuk mencegah dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Dia mengatakan ditahannya harga itu membuat pengembang kesulitan menyesuaikan dengan ongkos material dan jasa yang terus naik. Beruntung, kata dia, pada 2023 pemerintah sudah membuat aturan terbaru yang menetapkan harga teranyar rumah bersubsidi. "Kenaikan harga itu dilakukan terukur oleh pemerintah," kata Junaidi.
Ketua Umum Himperra Harry Endang Kawidjaja mengutarakan masalah berbeda yang dihadapi pengembang untuk membangun rumah bersubsidi. Dia mengatakan masalah utama yang saat ini dihadapi adalah sulitnya perizinan.
Menurut dia, pada 2021 pemerintah baru saja mengeluarkan aturan baru tentang perumahan. menurut dia, aturan itu membuat pengembang harus mengantongi lebih banyak izin agar bisa membangun rumah bersubsidi. Izin makin banyak, kata dia, menyebabkan ongkos tak terduga yang harus dikeluarkan oleh pengembang semakin banyak.
"Untuk pembelian tanah kita tidak ada masalah, tapi perizinannya," ujarnya.
Endang mengungkapkan mahalnya ongkos perizinan itu telah menggerus keuntungan yang diperoleh pengembang rumah bersubsidi. Akibatnya, kata dia, minat pengembang untuk membangun rumah subsidi makin meredup.
"Setiap saya berkeliling ke daerah-daerah, keluhan itu sering saya dengar," tegasnya.
Dia khawatir rumitnya perizinan akan membuat banyak pengusaha angkat kaki dari sektor rumah bersubsidi. Menurut dia, berkurangnya jumlah pemain rumah subsidi akan berdampak buruk pada program pemerintah.
Dia mengklaim dampak tersebut sudah mulai terlihat dari realisasi penyaluran rumah murah pada 2023. Hingga Juli 2023, kata dia, baru sekitar 90 ribu rumah yang disalurkan dari target 220 ribu hingga akhir tahun. "Saya khawatir akan berlaku seller market karena permintaannya tetap tinggi," katanya.
(haa/haa)