
ESDM Tolak Rencana Kenaikan Harga Gas PGN di Oktober

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan tidak akan mengizinkan rencana PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) untuk menaikkan harga gas bumi mulai 1 Oktober 2023. Terutama, yang ditujukan bagi industri non-Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) atau industri yang tidak dikenakan harga gas "murah" US$ 6 per MMBTU.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengakui bahwa sah-sah saja sebetulnya bagi PGN untuk mengumumkan rencana kenaikan harga gas bagi pelanggan industri non-HGBT. Namun demikian, pemerintah mempunyai kebijakan lain untuk tetap tidak menaikkan harga gas.
"Kita enggak mengizinkan. Itu sebenarnya aturan dari dia, maka harus diumumkan sekarang, kalau tidak diumumkan sekarang nanti sudah telat, jadi umumkan sekarang, tapi pemerintah kan kebijakannya tidak menaikkan harga," kata Tutuka di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (29/8/2023).
Menurut Tutuka, pada prinsipnya pemerintah menginginkan agar harga gas untuk pelanggan industri bisa ekonomis. Apalagi, lanjutnya, pihaknya juga telah menetapkan alokasi gas yang ditujukan bagi industri.
"Kemudian dia menjual dengan harga yang memberatkan konsumen, kan kita tidak bolehkan," ujarnya.
Mengutip surat edaran dari PGN kepada para pelanggan, terdapat sejumlah kenaikan harga gas berdasarkan kategori. Misalnya seperti pelanggan Gold dipatok menjadi US$ 11,89 per MMBTU dari yang sebelumnya US$ 9,16 per MMBTU.
Pelanggan Silver dipatok US$ 11,99 per MMBTU, sebelumnya hanya US$ 9,78 per MMBTU. Pelanggan Bronze 3 dipatok sebesar US$ 12,31 per MMBTU sebelumnya US$ 9,16 per MMBTU.
Pelanggan Bronze 2 dipatok US$ 12,52 per MMBTU, sebelumnya US$ 9,20 per MMBTU. Pelanggan Bronze 1 dipatok Rp 10.000 per meter kubik, sebelumnya Rp 6.000 per meter kubik.
Sebelumnya, Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Yustinus Harsono Gunawan menilai rencana kenaikan harga gas bumi akan berdampak bagi industri. Bahkan kebijakan tersebut digadang-gadang bakal memicu deindustrilisasi.
"Kenaikan harga non-HGBT oleh PGN hampir pasti segera memicu deindustrilisasi, seperti halnya kenaikan harga gas sekitar 10 tahun yang lalu," kata dia kepada CNBC Indonesia, Jumat (18/8/2023).
Lebih lanjut, Yustinus mengatakan bahwa kenaikan harga gas oleh PGN seakan kontra produktif dengan rencana pemerintah. Terutama yang bakal menutup keran ekspor gas ke luar negeri.
"Kenaikan harga gas oleh PGN seakan kontra produktif dengan informasi dari Menko Marves yang akan stop ekspor gas untuk dialihkan memenuhi kebutuhan gas bumi yang terus meningkat," tambahnya.
Perlu diketahui, sejak 2020 pemerintah telah menetapkan HGBT alias harga gas "murah" US$ 6 per MMBTU "hanya" untuk tujuh kelompok industri. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 121 tahun 2020 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Ketujuh sektor industri yang dikenakan HGBT itu yaitu sektor industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Gas Dilarang Naik 1 Oktober, Menteri ESDM: Gak Halal!
