Ini Dampak Jika Aturan Impor di Bawah US$ 100 Berlaku

dpu, CNBC Indonesia
Sabtu, 19/08/2023 22:56 WIB
Foto: CNBC Indonesia

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik atau e Commerce mendapat banyak sorotan. Khususnya terkait larangan importasi barang pemesanan sistem online e-Commerce di bawah US$ 100.

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin mengatakan, pengangkutan barang lewat pesawat udara (crossborder) ini adalah pendapatan umum (revenue generator) bagi negara dari sisi pajak, maka apabila pelarangan ini dilakukan potensi pendapatan negara dari pajak triliunan per tahun akan hilang sekitar Rp 1,5 hingga Rp 2,5 tnliun.

Menurutnya, tanpa proses resmi seperti crossborder barang akan melalui importasi yang sulit diawasi dan dikendalikan alias penyelundupan. Sebagai gambaran crossborder itu berbasis transportasi udara (air-freight) dan melibatkan ongkos (cost logistics) yg tinggi hingga USD 10 per kilogram dari awal pengangkutan (firstmile) hingga ke akhir pengangkutan (lastmile).


Biaya logistik crossborder yang mahal menjadikan hanya barang spesifik yang dapat dijual, dan biaya ini juga yang telah membuat pergeseran pola bisnis para penjual luar negeri.

"Pedagang dari luar negeri saat ini cenderung berkerja sama dengan penjual lokal melakukan importasi lewat laut (sea frerght) dan setibanya barang di Indonesia baru dijual di platform lokal dengan harga murah, sehingga justru ini yang mematikan bisnis UKM," ujar Boyamin dalam keterangan tertulis, Minggu, (20/8/2023).

Ditambahkan olehnya, pada waktu terjadi pembatasan 18 jenis barang pada tahun 2020, sistem crossborder dan di antara 18 item tersebut termasuk busana muslim, faktanya di e Commerce lokal barang yang sama masih djual sampai saat ini dan tidak dilarang, harga jualnya pun jauh lebih murah dari harga crossborder.

Artinya, tanpa crossborder barang itu tetap diimpor, karena tingginya permintaan, bahkan saat ini harga barang bekas impor itu bisa semakin murah karena dikinm via laut (sea frerght) dan tentunya menjadi makin laris.

Kementerian terkait pun dinilainya sangat tergesa-gesa menyimpulkan bahwa crossborder tersebut merugikan negara dan UMKM, padahal lanjutnya bisnis ini adalah penopang utama sektor logistik, airlines, pergudangan, kunr, dan trucking.

"Bahkan di saat pandemi, maskapi nasional kita dapat terus beroperasi karena mengangkut cargo crossborder di saat ada larangan untuk mengangkut penumpang," jelasnya.

Sektor e Commerce crossborder dan logistik lanjutnya juga telah berkontribusi besar pada pemulihan perekonomian negara berkat ekspor crossborder UMKM ke 6 negara ASEAN. Logistik di Indonesia saat ini Tambahnya juga menjadi sektor paling tinggi pertumbuhannya, berdasarkan hasil BPS untuk triwulan I- 2023 sebesar 15,93%.

Melihat hal itu ia pun menuturkan bahwa kementerian harus cermat membedakan antara crossborder dan barang impor yang telah dijual di pasar lokal.

Sementara itu, nenurut peneliti Indef, Wahyu Askara, pada keterangan resminya 8 Mei 2021, plaftorm lokal e-Commerce menjual 90% barang impor dan hal ini telah disebut juga dalam banyak kajian, tanpa ada mempertanyakan apakah importasinya sesuai aturan dan terdaftar dengan deskripsi barang, kuantiti, hscode yang sesuai layaknya importasi crossborder.

Untuk kebaikan negara dan mencegah kerugian negara, MAKI pun meminta pembatalan rencana perubahan Peraturan Menten Perdagangan Nomor 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan dalam Perdagangan Melalu Sistem.


(dpu/dpu)
Saksikan video di bawah ini:

Bantu UMKM & Desa, Ini Cara Pengusaha Majukan Koperasi Merah Putih