Terungkap! Ini Biang Kerok 'Malapetaka' Beras di RI
Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengungkapkan tingginya harga gabah dan beras belakangan disebabkan karena saat ini sedang memasuki musim tanam gadu.
Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Bapanas atau National Food Agency (NFA) Rahmi Widiriani menuturkan, jika berdasarkan siklus pertanaman padi, harga gabah di musim tanam gadu memang lebih tinggi dibandingkan dengan musim rendeng atau panen raya seperti di semester 1.
"Saat ini masuk musim gadu, berdasarkan siklus pertanaman padi harga gabah di musim gadu memang lebih tinggi dibandingkan musim rendeng/hujan seperti di semester 1," jelas Rachmi kepada CNBC Indonesia, Jumat (11/8/2023).
Selain itu, Rachmi menuturkan bahwa pemerintah dalam upaya untuk memperkuat cadangan beras pemerintah (CBP) akan melakukan pembelian gabah/beras petani dengan menggunakan HPP dan komersial. Dimana petani pada saat musim gadu, katanya, juga akan mendapatkan harga yang bagus, keuntungan yang lebih, hal itu karena kualitas gabahnya yang juga bagus.
"Bulog bisa membeli dengan mekanisme komersial sesuai harga pasar. Ketersediaan saprotan seperti pupuk dan benih ini ranahnya hulu. Kementerian pertanian setahu saya sudah menyiapkan program-program unggulan untuk petani," ujarnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori, katanya, kenaikan harga beras yang belakangan terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya karena sedang masuk musim tanam gadu.
Khudori menyebut tingginya harga gabah/beras di musim tanam gadu, yaitu pada bulan Juni-September ketimbang di musim panen raya Februari-Mei merupakan hal yang normal. Namun, dia tak menampik memang harga saat ini sudah lumayan tinggi di atas harga pokok penjualan (HPP).
"HPP gabah kering panen (GKP) di petani sebesar Rp 5.000/kg. Tapi harga di pasar sudah jauh meninggalkan HPP. Rerata sudah lebih dari Rp 6.000/kg. Bahkan ada yang sudah menyentuh Rp 7.000/kg. Ini kenaikan yang luar biasa," timpalnya.
Khudori menyampaikan bahwa agak sulit untuk memastikan apa penyebabnya. Namun, hampir bisa dipastikan penyebabnya bukan karena faktor tunggal, melainkan ada empat faktor.
Pertama, siklus panen memang sedang memasuki musim gadu, sehingga harga gabah/beras akan menjadi lebih tinggi dari musim panen raya. Faktor yang kedua, menurut Khudori, karena perkiraan produksi beras yang menurun. "Perkiraan ini membuat keseimbangan pasokan dan permintaan tak seimbang, yang berujung pada ekspektasi harga yang naik," ujarnya.
Produksi pada sembilan bulan pertama, terangnya, merujuk data Kerangka Sampel Area BPS, diproyeksikan 25,64 juta ton GKG (gabah kering giling). Kendati demikian, data Juli-September 2023 masih proyeksi, yakni berdasarkan luas tanam, angka itu turun dibandingkan sembilan bulan pertama pada tahun 2022 yang tercatat 26,17 juta ton GKG.
Di sisi lain, periode yang sama pada Januari-September 2023, konsumsi beras nasional diproyeksikan meningkat, yakni mencapai 22,89 juta ton. Menurut data BPS, angka itu lebih tinggi dibandingkan konsumsi beras selama sembilan bulan pertama tahun 2022 yang mencapai 22,62 juta ton.
"Jika dilihat lebih detail, neraca beras nasional (produksi dikurangi konsumsi bulanan) mulai defisit lagi sejak Juli, Agustus dan September 2023. Jumlah defisit beras selama tiga bulan itu diestimasi sebesar 420.000 ton, setelah lima bulan berturut-turut neraca beras surplus 4,35 juta ton. Surplus pada musim rendeng atau panen raya terjadi karena kinerja luas panen pada Maret dan April amat tinggi, sehingga produksi gabah di Maret 8,89 juta ton dan April 6,24 juta ton GKG," terang dia.
Selanjutnya, faktor yang ketiga karena adanya El Nino. Meskipun El Nino bukanlah hal yang baru, tetapi pemberitaan dan eksposur El Nino cukup luas, terutama dampaknya pada sektor pertanian.
"Sejumlah pihak memperkirakan produksi padi bakal turun 1,5 juta ton GKG. Bahkan, ada yang memperkirakan produksi beras turun hingga 5%. Jika yang terakhir ini yang terjadi, lumayan besar," tuturnya.
Kemudian faktor yang keempat, terjadinya dinamika global yang tercermin dari kebijakan negara-negara eksportir beras yang cenderung restriktif, salah satunya India.
"Negara-negara yang selama ini tergantung pada beras impor dari India bakal terkena dampaknya. Indonesia impor dari India sebagian besar dalam bentuk beras patahan (broken rice), yang sebenarnya tidak bakal terdampak langsung oleh kebijakan India. Tapi sentimen ini ke mana-mana," jelasnya.
Rangkaian berbagai faktor tersebut lah yang menurut Khudori sepertinya telah membuat harga gabah/beras terus mengalami kenaikan.
(wur/wur)