Awas Jadi Korban! Modus Perdagangan Orang Ada di HP Kamu
Jakarta, CNBC Indonesia - Berharap mendapat pekerjaan dengan gaji menarik di luar negeri, Ridwan malah menjadi korban dari perdagangan orang (human trafficking). Dia dipaksa untuk bekerja 12 jam di negeri tetangga Indonesia sebagai pelaku penipuan online alias online scam yang memang tengah ramai terjadi.
Pengakuan Ridwan ini terungkap saat menjadi salah satu narasumber dalam acara Bali Process Government and Business Forum (GABF) Tech Forum 2023, yang diselenggarakan di Hotel Hilton, Sanur, Bali, Kamis (10/8/2023). Ridwan merupakan sarjana computer science lulusan tahun 2017 terjebak online scam.
"Saya mendapatkan lowongan pekerjaan lewat media sosial di HP, untuk bekerja di luar negeri. Ternyata saya dipekerjakan paksa untuk online scam," akunya.
Ridwan tak habis pikir ternyata menjadi korban human trafficking, yang dijual untuk penipuan secara online. Dia terperangkap dalam sindikat perdagangan orang, yang mencari pekerja untuk penipuan online di negeri tetangga Indonesia.
Ridwan harus bekerja 12 jam sehari untuk membuat akun-akun media sosial palsu berkedok perempuan cantik atau om-om senang yang dikenal dengan istilah sugar daddy. Selama bekerja, Ridwan harus mencari sasaran-sasaran penipuan lewat media sosial.
"Awalnya saya menawarkan investasi dengan imbal hasil tinggi, setelah sasaran terperangkap baru kami menjeratnya dan uangnya tidak akan kembali. Kemudian mencari target sasaran lainnya," kata Ridwan.
Ia pun harus mengeluarkan uang hingga US$ 2.000 dari keluarganya untuk membayar sindikat sehingga bisa keluar dari jeratan human trafficking tersebut. Ridwan merupakan satu dari ribuan orang yang terjebak dalam berbagai modus human trafficking, yang ada di Indonesia dan di negara-negara lain.
Mengutip situs Kementerian Hukum dan HAM, perdagangan orang (human trafficking) merupakan modus kejahatan perbudakan modern dalam bentuk transaksi jual beli terhadap orang yang dalam perkembangannya terus menerus berkembang secara nasional maupun internasional. Pada umumnya dilakukan secara tertutup dan bergerak di luar hukum.
Bali Process sendiri merupakan forum yang melibatkan pemerintah dan perusahaan swasta, sebagai wadah untuk meningkatkan kesadaran banyak pihak terkait human trafficking yang banyak terjadi. Di forum kali ini, Indonesia dan Australia menjadi penggagasnya, mengingat banyak kasus human trafficking yang melintasi kedua negara.
"Kenapa Indonesia dan Australia? Awalnya karena masalah pengungsi. Pengungsi dari Asia yang mau menuju Australia biasanya transit di Indonesia," kata pengusaha Garibaldi Thohir selaku GABF Business Co-Chair yang mewakili Indonesia.
"Dan, dalam gelombang pengungsian ini sering disisipi korban human trafficking," tegasnya.
Seminar di Bali tersebut digagas oleh Garibaldi, yang juga dihadiri oleh Andrew Forrest selaku GABF Business Co-Chair yang mewakili Australia. Untuk diketahui, Andrew merupakan orang terkaya Australia nomor dua versi Forbes.
Dua orang pengusaha ini menggagas forum tersebut untuk meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan dunia usaha terkait isu human trafficking dan juga forced labor atau kerja paksa yang banyak terjadi. Sehingga pengusaha bisa mengawasi pekerja mereka agar tidak masuk dalam skema kejahatan itu.
"Sebagai pengusaha saya merasa terpanggil. Human Trafficking tidak jauh-jauh di sekitar kita banyak terjadi. Demikian juga dengan eksploitasi pekerja. Bahkan terakhir-terakhir ini kita tahu juga banyak terjadi kasus secara online. Saya meminta awarness semua pelaku usaha terkait hal ini dengan lihat kondisi internal pekerja kita," papar Garibaldi.
Cari Mangsa Lewat Teknologi
Dalam acara tersebut, Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, juga memberikan sambutan yang mengungkapkan bagaimana pelaku human trafficking mulai mencari mangsa lewat platform-platform teknologi. Para korban berakhir dengan kerja di industri penipuan online.
"Ini menjadi prioritas tertinggi Indonesia," kata Retno tegas.
Dia berujar, pemerintah Indonesia telah menangani lebih dari 2.800 kasus warga negara Indonesia (WNI) yang jatuh dalam penipuan online di negara tetangga. Dari jumlah tersebut, hampir 40% adalah korban human trafficking.
"Kita semua harus menjadikan wilayah ini sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dunia. Bukan pusat human trafficking," kata Retno.
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly, juga hadir memberikan arahan dalam forum ini. Dia mendorong sektor teknologi untuk mendukung usaha pemberantasan kejahatan antar negara, termasuk human trafficking tersebut.
"Peranan sektor swasta dibutuhkan dan krusial untuk memperkuat komunikasi di antara platform teknologi, pembuat kebijakan, dan penegak hukum," kata Yasonna.
Direktur Pelindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, mengatakan total kasus online scam dari tahun 2000-Juli 2023 mencapai 2.813 kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.118 kasus terkait dengan tindak pidana perdagangan orang.
Negaranya terbanyak berasal dari Kamboja, lalu diikuti Filipina, Thailand, Myanmar, dan Laos. Judha mengatakan, Kemenlu memiliki aplikasi Safe Travel, yang bisa membantu WNI di banyak negara, apabila mereka menjadi korban dari perdagangan orang.
Lapangan Kerja Minim, Orang Desa Jadi Korban
Kepala Desa Tanalein, Pulau Solor, Flores Timur mengakui hal ini. Desa menjadi tempat yang empuk bagi para pelaku perdagangan orang.
Persoalan ekonomi dan ketersediaan lapangan pekerjaan di daerah menjadi soal. Ini membuat kasus perdagangan orang ini terus menerus terjadi.
"Karena mereka susah mencari kerja. Masyarakat desa juga punya keinginan untuk memperbaiki hidup, bahkan ada yang rela kerja di luar untuk membiayai sekolah anak. Dan ada juga anak yang rela beekrja supaya bisa membiayai kuliahnya," tutur Yohanes.
"Jadi persoalan utamanya (perdagangan orang) karena kurangnya lapangan kerja di daerah," jelas Yohanes.
(wed/sef)