Profil Fernando Villavicencio, Capres Ekuador Mati Ditembak
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemilihan Presiden (Pilpres) Ekuador berubah menjadi kelam. Kampanye yang dilakukan calon presiden (capers) berubah menjadi lokasi pembunuhan.
Capres Fernando Villavicencio ditembak mati seusai menemui pendukungnya di kota utara Quino, Rabu (9/8/2023). Ia meninggal saat hendak meninggalkan lokasi itu.
"Ditembak tiga kali di kepala," menurut saksi dimuat BBC International.
Tidak jelas pada saat publikasi berapa banyak penyerang yang terlibat. Namun, laporan media menyatakan bahwa seorang tersangka terluka dalam baku tembak dengan polisi dan kemudian meninggal.
Tidak diketahui juga, apakah ada kematian lainnya. Tapi diketahui beberapa aparat terluka karena baku tembak.
Lalu siapa Fernando Villavicencio?
Mengutip New York Times (NYT), Villavicencio adalah salah satu dari delapan kandidat presiden dalam pilpres Ekuador yang akan berlangsung 20 Agustus. Melansir BBC International, meski tak begitu besar, jajak pendapat, mencatat ia memperoleh dukungan sekitar 7,5%.
Di negerinya, sosoknya memang terkenal kritis. Ia memiliki sejumlah track record, mulai dari mantan ketua serikat pekerja mantan jurnalis hingga politisi dan legislator dari Partai Movimiento Construye.
Kiprah kritis pria 59 tahun ini dimulai kala ia memimpin serikat pekerja perusahaan minyak negara Petroecuador. Kala itu ia menantang penyelewengan yang ada.
Namanya kian melambung setelah menjadi jurnalis. Ia juga dikenal sebagai kritikus paling tajam mantan Presiden Rafael Correa, yang memerintah 2007-2017.
Karena kecamanannya itu, Villavicencio sempat dituduh mencemarkan nama baik mantan presiden dan dihukum 18 bulan penjara. Dia dilaporkan sempat melarikan diri ke wilayah Pribumi Ekuador sebelum diberikan suaka di Peru.
Ia kembali ke Ekuador kala Correa jatuh. Correa sendiri sempat dipenjara karena korupsi di 2020.
"Dia menjadi terkenal sebagai pemimpin serikat pekerja di perusahaan minyak negara, Petroecuador, dan kemudian memainkan peran penting dalam mengungkap skandal korupsi yang melibatkan pemerintahan mantan Presiden Rafael Correa," tulis NYT.
"Sebagai jurnalis, Villavicencio memperoleh dokumen tentang program pengawasan pemerintah yang dia kirim ke WikiLeaks tetapi akhirnya menerbitkannya sendiri. Beberapa karyanya menyebabkan ancaman pembunuhan dan dakwaan yang dipromosikan secara luas sebagai motif politik," muat media itu lagi.
Menurut ilmuwan politik di University of British Columbia, Grace Jaramillo, Villavicencio kerap merasa diintimidasi dan direndahkan. Tapi dalam pemilu Ekuador, ia muncul dengan slogan-slogan anti korupsi di negeri itu.
"Dia mendemonstrasikan Gerakan Membangun Ekuador, sebuah kampanye luas, dan juga mengkampanyekan isu-isu seperti keamanan pribadi, di negara yang telah dilanda kekerasan terkait perdagangan narkoba tersebut," tambahnya.
(sef/sef)