Demi Harga Gas Murah 6 Dolar, Rp 30 Triliun Melayang!
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah rupanya harus rela mengorbankan penerimaan negara dari sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) hingga mencapai Rp 30 triliun. Hal tersebut menyusul dengan adanya implementasi pemberian harga gas khusus US$ 6 per MMBTU kepada industri tertentu selama tiga tahun terakhir ini.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, sejatinya pihaknya mendukung langkah pemerintah memperluas harga gas khusus US$ 6 per MMBTU ke sejumlah industri. Ini dilakukan guna meningkatkan daya saing industri di dalam negeri.
Meski begitu, berdasarkan catatan Reforminer Institute, selama tiga tahun terakhir kebijakan harga gas khusus ini diterapkan, serapan dari industri di dalam negeri masih di bawah dari alokasi. Tak hanya itu, potensi penerimaan negara juga diperkirakan hilang sekitar Rp 30 triliun akibat berkurangnya penerimaan negara dari hulu migas.
"Ada nilai kehilangan, dalam artian memang kan ini dilakukan dengan pemerintah menyadari akan mengurangi PNBP gas dan itu dari akumulasi dalam 3 tahun terakhir mungkin kisarannya di atas Rp 30 triliun begitu ya," kata Komaidi dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, Selasa (8/8/2023).
Komaidi memandang pemerintah sangat berharap mendapatkan kompensasi dari penurunan penerimaan negara tersebut melalui penambahan penerimaan pajak, dividen dari industri penerima harga gas khusus. Namun jika menengok dalam tiga tahun terakhir ini besaran yang dikorbankan pemerintah rupanya belum sepadan.
"Pemerintah merelakan untuk bagian penerimaan negara dari PNBP gas berkurang itu belum sepadan dengan yang diterima dari tambahan penerimaan dari pajak dari sektor sektor industri penerima harga gas khusus tadi," ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan Menteri ESDM Arifin Tasrif untuk mengevaluasi biaya produksi gas bumi supaya harga jual ke industri lebih kompetitif, utamanya dibandingkan dengan negara-negara di kawasan ASEAN.
"Kita diminta mengevaluasi kembali. Nanti ada tim antar Kementerian untuk mengevaluasi biaya-biaya yang dikeluarkan untuk bisa memproduksikan gas tersebut, sehingga kita bisa memastikan bahwa gas tersebut bisa betul-betul, sesuai dengan biaya yang dikeluarkannya," ujar Arifin usai mengikuti rapat yang dipimpin Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Senin (31/7/2023).
Menurut Arifin, evaluasi biaya produksi gas tersebut diperlukan agar struktur ekonomi Indonesia di sektor minyak dan gas lebih kompetitif dibandingkan negara lain. Terlebih, produksi gas bumi Indonesia juga diekspor ke mancanegara.
"Operasionalnya itu efisien, sehingga kita bisa mendapatkan gas yang kompetitif untuk bisa mendukung berkembangnya industri dalam negeri," kata dia.
Arifin pun sempat menyebut bahwa penyerapan gas untuk industri masih belum optimal meski sudah diberikan harga gas khusus US$ 6 per MMBTU.
"Nah masih ada permintaan industri lain untuk bisa mendapatkan itu, tapi yang menjadi catatan kita dari alokasi untuk 7 industri ini yang memanfaatkannya masih di bawah 85%, belum optimal. Jadi dari seluruh volume yang dialokasikan ini yang akan kita optimalkan dulu," ungkap Arifin di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (4/8/2023).
Seperti diketahui, saat ini pemberian insentif gas murah US$ 6 per MMBTU diberikan hanya kepada 7 sektor industri, antara lain:
1. Industri pupuk
2. Industri petrokimia
3. Industri oleochemical
4. Industri baja
5. Industri keramik
6. Industri kaca
7. Industri sarung tangan karet.
(wia)