FoodAgri Insight

Era Transisi Energi, Produktivitas Kelapa Sawit RI Jadi Juara

Teti Purwanti, CNBC Indonesia
01 August 2023 14:37
Ketua Umum Gabungan Usaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Marto saat menghadiri acara FoodAgri Insight On Location dengan tema
Foto: Ketua Umum Gabungan Usaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Marto saat menghadiri acara FoodAgri Insight On Location di Auditorium Kementerian Perdagangan, Jakarta, Selasa (1/8/2023). (Dokumentasi: Muhammad Sabki/CNBC Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menyebutkan produktivitas kelapa sawit Indonesia masih juara dibandingkan minyak nabati lainnya. Padahal jumlah lahan kelapa sawit di seluruh dunia masih lebih kecil dibandingkan komoditas perkebunan lainnya, seperti kedelai, bunga matahari, dan kapas.

Eddy menyebutkan total lahan kedelai pada 2022 mencapai 132 juta hektar kapas mencapai 33 juta hektare, bunga matahari 30 juta hektare, rapeseed atau brassica 36 juta hektare, dan kelapa sawit 24 juta hektare.

"Sekarang pertanyaannya, siapa yang menyebabkan deforestasi di sini? Apakah sawit yang 24 juta hektare? Tapi dari sisi produktivitas, kelapa sawit tidak bisa dilawan," kata Eddy, dalam dalam FoodAgri Insight On Location dengan tema "Melawan UU Anti-Deforestasi Uni Eropa", Selasa (1/8/2023).

Dari sisi produksi, Gapki setiap hektare kelapa sawit mampu memproduksi 3,2 juta ton minyak sawit per tahunnya. Sementara minyak nabati lainnya, seperti minyak kedelai, minyak biji bunga matahari, hingga minyak rapeseed, tidak mampu mengimbangi sawit.

"Penggunaan lahan semua terkecil dari seluruh minyak nabati minyak dunia. Dilihat dari pengurangan emisi karbon, sawit tanaman hutan, menyerap CO2 dan menghasilkan O2, beda dari tanaman nabati lain yang per musim. Tetapi sawit dianggap penghasil emisi," kata dia.

Selain itu, sebagian besar produksi turunan kelapa sawit di Indonesia pun sudah memiliki sertifikasi ISPO, yang juga memenuhi RSPO. Sayangnya, Eddy menilai, Uni Eropa justru tidak mengindahkan sertifikasi yang telah dimiliki.

Menurutnya Uni Eropa terkesan melindungi petani nabati di benua biru tersebut, terutama rapeseed, yang produktivitasnya jauh lebih rendah dibandingkan sawit.

"Kami lihat ada unsur perang dagang. Ada ISPO yang mandatory di kita (Indonesia) dan RSPO yang voluntary, tidak juga dianggap oleh Uni Eropa padahal sertifikasi sudah ada. Mereka punya standar sendiri dan ini yang menjadi pertanyaan," ujar Eddy.


(rah/rah)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bukan Kini Saja, Eropa Ternyata Sudah Lama Usil Soal Sawit RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular