
Terbaru! Kondisi Ekonomi Dunia & RI dari Kacamata Asing

Jakarta, CNBC Indonesia - Dana Moneter Internasional atau IMF baru-baru ini mengeluarkan kajian terbarunya tentang kondisi perekonomian dunia, sebagaimana termuat dalam World Economic Outlook edisi Juli yang berjudul Near-Term Resilience, Persistent Challenges.
Dalam laporan itu, IMF menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,0% untuk tahun ini. Proyeksi IMF 0,2% lebih tinggi dibandingkan proyeksi pada April (2,8%). IMF juga masih mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi global di angka 3,0% untuk 2024.
Kepala ekonom IMF, Pierre-Olivier Gourinchas menjelaskan kawasan Asia akan tumbuh kuat 5,3% pada tahun ini tetapi negara-negara penghasil komoditas akan 'menderita' karena melemahnya ekspor akibat lambatnya permintaan dari negara-negara maju.
"Negara emerging dan berkembang di Asia akan tumbuh kuat 5,3%. Namun, banyak produser komoditas yang akan menderita karena penurunan penerimaan pendapatan ekspor," tutur Gourinchas, dalam konferensi pers, dikutip Senin (31/7/2023).
Jerman merupakan satu-satunya negara yang IMF perkirakan akan terkontraksi di Uni Eropa. Pada tahun ini saja, ekonomi mereka terkontraksi -0,3%.
Resesi Jerman terjadi akibat kontraksi yang terjadi dua kali berturut-turut sejak kuartal IV-2022 sebesar -0,5% dan dilanjutan pada kuartal I-2023 sebesar -0,3%. Sedangkan secara tahunan, ekonomi Jerman juga terkontraksi 0,5% pada kuartal I-2023 atau yang pertama kali sejak kuartal II-2021.
Kabar tersebut muncul setelah data yang dirilis pekan lalu menunjukkan anjloknya pesanan baru di pabrik-pabrik Jerman. Industri otomotif merupakan kontributor utama penurunan bulan Maret, di mana pembuatan kendaraan dan suku cadang turun 6,5%. Padahal pada Februari sebelumnya, Jerman mengalami kenaikan 6,9%.
Fenomena tersebut terjadi menyusul sektor industri negara itu dihantam oleh harga energi yang tinggi menyusul invasi Rusia ke Ukraina.
Selain Jerman, IMF juga memperkirakan kondisi China memburuk, meskipun masih mempertahankan proyeksi ekonomi China di angka 5,2% untuk 2023 dan 4,5% untuk 2024. Namun setelah pelonggaran besar-besaran sejak akhir tahun lalu dengan mengurangi pembatasan terkait Covid-19 terjadi, potensi untuk tumbuh tinggi pun menjadi hilang.
Selama hampir tiga tahun, kebijakan nol-Covid Beijing yang ketat memiliki efek buruk bagi pengeluaran konsumen. Ketika pembatasan dicabut pada akhir tahun 2022, jutaan orang berbondong-bondong ke restoran, pusat perbelanjaan, dan pergi liburan. Tapi optimisme itu tidak bertahan lama.
China kehabisan tenaga dan pasar tenaga kerja di bawah tekanan, sehingga lebih dari satu dari lima orang muda menganggur. Tingkat pengangguran di antara kaum muda usia 16 hingga 24 mencapai 21,3% pada Juni, menjadi rekor tinggi baru. Tingkat pengangguran untuk masyarakat di kota-kota adalah 5,2% pada Juni.
Tidak seperti negara lainnya yang tertekan inflasi, China justru mengalami deflasi secara bulanan dan ke level nol secara year on year (yoy). Ini menjadi alarm peringatan berlanjutnya perlemahan permintaan. Salah satu alasannya adalah konsumen menunda pembelian mereka dengan harapan harga yang lebih rendah.
Selain itu, dampak skandal properti masih menjadi persoalan besar di China.
"Pemulihan ekonomi China bisa melambat karena persoalan real estate belum sepenuhnya diselesaikan. Ini bisa menimbulkan dampak negatif ke sektor lain." tulis IMF dalam laporannya.
Di tengah kondisi dunia itu, IMF memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,0% pada tahun ini. Proyeksi ini tidak berubah dibandingkan pada proyeksi April 2023. Namun, IMF menurunkan estimasi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 5,0% pada 2024, lebih rendah dibandingkan proyeksi pada April (5,1%).
Tak membaiknya proyeksi terhadap Indonesia ini disebabkan dampak rambatan dari melemahnya negara-negara mitra dagang utamanya itu. Seperti pelemahan permintaan dari industri Jerman yang masih terdampak krisis energi.
Dengan minimnya permintaan di Jerman, maka hal ini dapat berdampak pada impor negara tersebut, dan salah satu negara yang terdampak yakni Indonesia. Merujuk dari Kemlu.go.id, Jerman merupakan salah satu mitra dagang utama bagi Indonesia dan produk ekspor unggulan Indonesia ke Jerman yakni minyak kelapa sawit, peralatan elektronik, hingga mesin-mesin mekanik.
Ketika ekspor Indonesia terhadap Jerman terganggu, maka penerimaan negara dari sisi ekspor akan menurun dan dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sementara itu, dari China, total perdagangan China dan Indonesia menembus US$ 133,65 miliar pada 2022 atau naik 17,70% dibandingkan 2021. Ekspor Indonesia ke China mencapai US$ 65,92 miliar sementara impor dari Tiongkok mencapai US$ 67,72 miliar. Baik ekspor dan impor merupakan yang tertinggi dalam sejarah.
Pada Januari-Mei 2023, ekspor ke China tercatat US$ 26,41 miliar atau naik 12,2%. Nilai tersebut setara dengan 25% dari total ekspor. Impor tercatat US$ 25,52 miliar atau turun 2,2%. Impor China sejak Oktober 2022 telah berada dalam zona negatif secara tahunan dan data terakhir per Juni 2023 berada di angka -6,8%.
"Data terbaru di negara-negara maju menunjukkan sinyal yang konsisten dari pelemahan lebih lanjut yang kemungkinan akan memberi tekanan lebih besar pada ekspor China di sisa tahun ini," kata Zhiwei Zhang, presiden dan kepala ekonom di Pinpoint Asset Management dikutip dari CNBC International.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sri Mulyani Bawa Kabar Buruk dari AS: Dunia Sedang Tidak Baik