'Kiamat' Beras India Makan Korban Baru: AS
Jakarta, CNBC Indonesia - Kebijakan larangan ekspor beras non basmati yang diumumkan India sejak dua pekan lalu memakan korban baru. Hal ini membuat panic buying di sejumlah pasar Amerika Serikat (AS).
Di Texas, sebagaimana dilaporkan NBC akhir pekan, konsumen tiba-tiba melakukan pembelian dalam jumlah besar, untuk menghindari kekurangan dan potensi kenaikan harga (inflasi). Selama akhir pekan, ini terlihat di toko-toko di Dallas-Fort Worth di mana pelanggan dilaporkan mengosongkan rak dan menunggu dalam antrean panjang untuk menimbun beras.
"Mereka sangat ingin membeli sepuluh, 12, 15 tas," kata Anand Pabari, pemilik India Bazaar, toko kelontong Asia Selatan di sana, dikutip Senin (31/7/2023).
"Itu adalah situasi yang benar-benar gila," ujarnya lagi.
Perlu diketahui, India adalah pengekspor beras terbesar dunia. Negara itu telah melarang beberapa penjualan beras non basmati yang menyumbang sekitar 25% ekspor utamanya, ke luar negeri sejak Kamis lalu.
Kementerian urusan konsumen dan makanan India mengatakan larangan ekspor adalah langkah untuk memastikan ketersediaan dalam negeri. Ini juga untuk menahan laju kenaikan inflasi domestik.
AS sendiri terdaftar sebagai salah satu tujuan ekspor penning beras non-basmati. Meskipun larangan itu tidak termasuk nasi putih non-basmati organik, di AS pelanggan hampir tidak menyentuh tumpukan itu.
"Organik selisih harganya hampir 60%," kata Pabari lagi. "Untuk reguler harganya US$15 (sekitar Rp 226.425), maka Anda membayar hampir US$25 hingga US$30 untuk yang organik."
Pabari pun menegaskan kelangkaan pasti datang. Setidaknya dua hingga tiga bulan ke depan.
"Setelah dua atau tiga bulan, kelangkaan akan datang," tegasnya. "Tapi untuk saat ini, saya pikir kami baik-baik saja. Kami bekerja dengan pemerintah India juga untuk melihat apakah mereka dapat melepaskan beras."
Pembatasan pembelian pun akan dilakukan. Ia pun telah memberitahu pelanggan untuk tidak panik.
"Beli saja apa yang Anda butuhkan. Kami akan memiliki beras yang cukup," katanya.
Sementara itu, mengutip Marketplace, kekhawatiran akan langkah larangan beras non basmati India juga melanda New Mexico. Koki dan pemilik restoran India, di Santan Fe, Paper Dosa, mengaku mulai ada kelangkaan.
"Kami mendapatkan beberapa, tetapi kami tidak dapat memperoleh apa yang kami inginkan," kata Paulraj Karuppasamy. "Rak-rak kosong. Banyak orang membelinya dalam jumlah besar dan menyimpannya."
Sementara itu, pengajar ekonomi pertanian dan konsumen di Universitas Illinois Urbana-Champaign, William Ridley, wajar jika panic buying terjadi saat ini. Banyak warga memprediksi harga akan melesat.
"Orang-orang melihat beberapa gangguan pasar yang besar, dan mereka kehabisan tenaga, mereka panik, mereka mengira langit akan runtuh, harga akan meroket dan mereka mungkin melakukannya dalam jangka pendek," kata Ridley.
Singapura
Sebelumnya, hal sama juga mempengaruhi Singapura. Negeri itu menyebut telah menghubungi otoritas India untuk meminta pengecualian atas larangan ekspor beras non basmati.
Impor beras India di Siangpura mencapai 40% di 2022. Sekitar 17% nya adalah non basmati.
"Singapura berhubungan dekat dengan otoritas India," kata Badan Pangan Singapura (SFA) pada Jumat.
"Untuk mencari pengecualian dari larangan tersebut," tambahnya.
Meski begitu, SFA mengatakan akan bekerja sama dengan importir untuk meningkatkan impor berbagai jenis beras dari berbagai sumber. Singapura juga mengumumkan Skema Penimbunan Beras Singapura, di mana importir beras harus memiliki persediaan penyangga yang setara dengan dua kali impor bulanan mereka.
"Kami meninjau ... secara teratur dan siap bekerja sama dengan industri jika diperlukan penyesuaian," ujar SFA lagi.
"Konsumen juga didorong untuk fleksibel dan dapat beradaptasi dengan beralih ke varietas beras lain, termasuk sumber karbohidrat lain jika terjadi gangguan," jelasnya.
"Kiamat" Beras
Smentara itu, langkah India diyakini akan menyebabkan "kiamat" beras di sejumlah negara. Ini akan memperburuk krisis pangan di tengah naiknya inflasi di banyak negeri belahan bumi.
"(Langkah India) berisiko memperburuk kerawanan pangan di negara-negara yang sangat bergantung pada impor beras," kata firma analitik data Gro Intelligence dalam sebuah catatan.
"Negara-negara yang diperkirakan terkena dampak parah larangan itu adalah negara-negara Afrika, Turki, Suriah, dan Pakistan, yang semuanya juga berjuang dengan inflasi harga pangan yang tinggi," ujarnya lagi.
Beras adalah makanan pokok bagi lebih dari 3 miliar orang dengan hampir 90% dari tanaman intensif air diproduksi di Asia. Harga global sudah berada di level tertinggi dalam 11 tahun.
Tindakan India telah membuat harga beras Thailand dan Vietnam mengalami kenaikan harga. Beras Vietnam sempat diperdagangkan pada level tertinggi sejak 2011 dan masih terus bergerak sementara varietas Thailand melonjak ke level yang belum pernah terlihat selama lebih dari dua tahun.
Khusus Indonesia, ibu pertiwi adalah konsumen beras terbesar keempat dunia, setelah China, India, dan Bangladesh. RI mengonsumsi 37,6 juta metrik ton, berdasar data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) Juli 2023.
Sementara itu CEO The Rice Trader, sebuah publikasi khusus industri mengatakan beberapa negara Afrika lah yang dalam bahaya karena sangat bergantung pada impor beras India. Belum lagi beberapa juga sudah kesulitan mendapat gandum karena perang Rusia-Ukraina.
(sef/sef)