Pak Jokowi, RI Gak Boleh 'Selow' Soal Tarik Investasi Asing!

Hadijah Alaydrus, CNBC Indonesia
Rabu, 26/07/2023 09:55 WIB
Foto: Managing Director Fullerton Management Company Ltd, Choo Jee Meng di acara 'Nickel Conference 2023' secara virtual, Selasa (25/7/2023). Nickel Conference 2023 mengambil tema "Nickel & Battery Supply Chain Sustainability". (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Persaingan merebut investasi asing akan semakin ketat ke depannya di tengah era suku bunga dan inflasi yang masing tinggi. Oleh karena itu, Indonesia tidak bisa santai dalam hal ini.

Head of Asia Equities at Fullerton Fund Management Jee Meng Choo mengakui bahwa Indonesia sukses dengan upaya hilirisasi mineral, tetapi banyak negara lain yang datang dengan ide besar lainnya.

"Misalnya, Chile, mereka datang dengan kebijakan baru. Litium disebutkan saat ini, mereka memberikan insentif untuk litium," kata Choo dalam Nickel Conference 2023 yang diadakan CNBC Indonesia, Selasa (25/7/2023).


Badan Pembangunan Ekonomi Chili Corfo dan Badan Promosi Penanaman Modal Asing InvestChile akan memberikan insentif bagi perusahaan nasional dan asing, yang berminat memproduksi litium, seperti katoda baterai dan elektrolit.

Dikutip dari Mondaq, perusahaan terpilih akan diberikan jaminan harga terendah di pasar. Adapun, penjaminan diberikan untuk 25% produksi dari total patokan hasil produksi lithium produsen terbesar di negaranya, yaitu Albemarle. Saat ini, hanya ada dua perusahaan yang mengekstrak litium di Chili, perusahaan AS Albemarle dan perusahaan lokal Sociedad Química y Minera de Chile (SQM).

Tidak hanya Chile, Amerika Serikat (AS) juga siap dengan kebijakan penanggulangan inflasi, Inflation Reduction Act (IRA). Setidaknya ada belasan manfaat dari penerapan IRA ini. Beberapa yang terpenting a.l. menurunkan biaya energi, menawarkan lapangan pekerjaan seiring dengan pertumbuhan industri manufaktur dan mengenjot investasi di bidang penanggulangan iklim.

Kemudian, Australia juga mengalokasikan anggaran miliaran untuk menopang pasar energinya. Salah satu program yang tengah disasar Australia adalah industri carbon capture atau penangkapan karbon.

Juni lalu, pemerintah Australia telah memilih enam proyek penangkapan, penggunaan dan penyimpanan karbon. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah akan mengucurkan total dana sebesar A$ 50 juta atau US$ 39 juta kepada enam proyek tersebut. Hal ini dalam rangka mempercepat pengembangan teknologi guna mengurangi emisi.

Choo mengatakan kebijakan Australia ini menyasar keuntungan yang bisa diperoleh dari penerapan IRA di AS. Tak hanya negara-negara tersebut Choo mengingatkan Thailand, Vietnam dan India juga tengah berlomba mendorong investasi.

"India datang dengan skema PLI (Production-Linked Incentive). Ini sebenarnya adalah pemberian insentif agar perusahaan manufaktur pindah ke India," kata Choo.

Dikutip dari Kementerian Elektronik dan Teknologi Informasi India, skema PLI tersebut akan memberikan insentif sebesar 4% hingga 6% pada penjualan tambahan (di atas tahun dasar) terhadap barang yang diproduksi di India dan tercakup dalam segmen target pasar.

Insentif ini diberikan kepada perusahaan yang memenuhi syarat, untuk jangka waktu lima tahun setelah tahun dasar sebagaimana ditentukan dalam aturan kebijakan ini. Skema terbuka untuk aplikasi untuk jangka waktu 4 bulan di awal dan dapat diperpanjang.

Seperti diketahui, lanjut Choo, India tengah berupaya keras untuk merebut kue investasi dari China, setelah AS mengencarkan restriksi atas Negari Panda tersebut.

"Seperti Apple, Samsung, mereka angkat kaki dari China, dan membawa manufaktur mereka kemana? Ini pertanyaannya."

"Salah satu lokasinya adalah India, makanya India bangkit untuk menarik investasi ke sana," ujar Choo. Sementara itu, lokasi potensi lainnya adalah Malaysia, Thailand dan Vietnam.

Indonesia, kata Choo, tidak termasuk. "Banyak hal yang harus dilakukan Indonesia untuk berkembang, saya pikir ini soal tenaga kerja," tegas Choo. Selain itu, pendidikan, skill dan perbaikan produktivitas.

Dia mengakui bahwa enam agenda yang dipaparkan oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan sebagai faktor yang akan membantu Indonesia.

Pertama, terus melakukan industrialisasi melalui hilirisasi untuk pertumbuhan & ketahanan ekonomi. Kedua adalah dekarbonisasi untuk mempercepat net-zero, sekaligus menangkap peluang ekonomi hijau. Ketiga, menyelenggarakan pendidikan yang terjangkau dan berkualitas untuk menghasilkan sumber daya manusia yang terampil.

Keempat, menyeimbangkan semua lini untuk menyelesaikan ketimpangan sosial ekonomi di Indonesia. Kelima, mendigitalisasikan layanan untuk pemerintahan yang efisien, transparan, dan inklusif. Terakhir, mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan interkoneksi orang, barang, dan informasi.


(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Ekspor Batu Bara RI ke China Turun Hingga 15%