
Mohon Maaf, RI Bukan Negara Gagal Versi PBB, Ini Buktinya!

Jakarta, CNBC Indonesia - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations meluncurkan laporan berjudul "A World of Debt" beberapa waktu lalu (12/7/2023).
Dalam laporan ini, PBB mengungkapkan utang publik secara global telah mencapai US$ 92 triliun pada 2022, atau naik signifikan dari periode 2002, yakni sebesar US$ 17 triliun.
Sekitar 30% dari total utang global itu dimiliki oleh negara-negara berkembang dengan tingkat bunga utang lebih tinggi dari negara-negara maju.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), António Guterres, mengatakan sekitar 3,3 miliar orang - hampir separuh umat manusia - tinggal di negara-negara yang membelanjakan lebih banyak untuk pembayaran bunga utang, daripada untuk pendidikan atau kesehatan.
"3,3 miliar orang ini lebih dari sebuah risiko sistemik. Ini adalah kegagalan sistemik," ungkapnya.
Pernyataan ini menjadi sorotan setelah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, mengaitkannya dengan kondisi Indonesia.
Dia menilai Indonesia adalah negara gagal karena biaya kesehatan dan pendidikannya lebih tinggi dari pembayaran bunga utang.
"Indonesia masuk negara gagal sistemik. APBN 2022: Biaya Kesehatan Rp 176,7 triliun; Bunga pinjaman: Rp 386,3 triliun," dikutip dari akun @AnthonyBudiawan, Kamis (20/7/2023).
Pernyataan Anthony ini dibantah oleh Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo.
Dia memastikan bahwa Indonesia bukan negara gagal sistemik.
Menurut Prastowo, anggapan itu tidak berdasar lantaran Indonesian sudah masuk ke dalam kategori negara berpendapatan menengah ke atas atau upper middle income trap versi Bank Dunia.
Selain itu, dia menekankan total anggaran pendidikan dan kesehatan dalam APBN 2022 adalah sebesar Rp 649 triliun atau 168% dari total belanja bunga Rp 386 triliun.
"Penilaian ini tidak berdasar! Indonesia bukan negara gagal," kata Prastowo dikutip dari akun @prastow.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, anggaran pendidikan selalu lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran untuk bunga utang. Setidaknya, itu terjadi dalam delapan tahun terakhir era Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Besarnya anggaran pendidikan tak lepas dari aturan mandatory spending. Sesuai amanat UUD 1945 dan Undang-Undang nomor 20tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari total APBN. Kebijakan tersebut sudah dimulai sejak 2009.
Dengan demikian, sejak tahun tersebut, pemerintah telah melakukan pemenuhan mandatory anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Anggaran pendidikan pun bengkak 182% dari Rp 216,72 triliun pada 2010 menjadi Rp 480,26 triliun pada 2022.
Lebih lanjut, mandatory spending untuk anggaran kesehatan juga ditetapkan sebesar 5% dari APBN dan kebijakna ini berlaku sejak 2016. Pada 2022, realisasi anggaran kesehatan mencapai Rp 255,39 triliun.
Dengan demikian, bila kedua anggaran tersebut digabung nilainya mencapai mencapai Rp 735,65 triliun pada 2022.
Kepala Pusat Ekonomi Makro & Keuangan INDEF, M. Rizal Taufikurahman melihat laporan PBB terkait negara gagal sangat penting bagi negara-negara di dunia termasuk RI untuk lebih waspada terhadap pengelolaan utang dan mencegah kegagalan sistem.
Bagi Indonesia, posisi utang pemerintah per 31 April 2023 mencapai Rp 7.800 triliun dan rasionya 38,15% dari PDB.
Pada 2023, dia mengatakan anggaran kesehatan RI mencapai Rp 98 triliun dan belanja pendidikan Rp 230 triliun dengan rasio biaya bunga utang yang lebih kecil sehingga Indonesia dinilai masih aman.
"Memang rasio biaya kesehatan, memang lebih besar rasio biaya bunga, tetapi jika dijumlahkan biaya kesehatan dan pendidikan, nampaknya biaya bunga utang masih lebih kecil," ujarnya.
"Jadi apakah Indonesia masuk kategori tadi yang disampaikan, potensi terjadi, risiko sistemik atau kegagalan sistemik, di lihat dari biaya kesehatan dan pendidikan belum masuk. Apalagi Indonesia masuk ke negara upper middle income," tegas Rizal.
Namun, dia menambahkan, hal ini menjadi pelajaran bagi pengelola fiskal bahwa anggaran harus dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya pagi pemberdayaan manusia.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article PBB: Negara Gagal Itu Bayar Utang Lebih Besar dari Pendidikan
