
Ramai Dunia Serang Aksi Jokowi, Luhut Ungkap Kesuksesan RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan baru-baru ini menerima kunjungan jurnalis senior dari Amerika Serikat, The New York Times, Peter Goodman.
Kedatangan Peter antara lain untuk mengetahui secara mendalam tentang program hilirisasi industri mineral yang digenjot pemerintah Indonesia saat ini.
Mengutip laman instagram pibadinya @luhut.pandjaitan, ia meminta Peter untuk melihat secara langsung beberapa fakta yang tidak pernah terjadi sepanjang sejarah Republik Indonesia, dengan pemaparan data dan laporan yang sudah disiapkan sejak lama.
Salah satu data yang dipaparkan Luhut yaitu nilai rata-rata tingkat inflasi Indonesia. Dia menyebut, sejak kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), tingkat inflasi RI selalu berada di bawah 4%.
"Ini lah salah satu manfaat program hilirisasi industri di Indonesia, yaitu berkontribusi menjaga pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan," ungkap Luhut dalam akun Instagramnya, dikutip Jumat (21/7/2023).
Selain itu, Luhut juga menyampaikan hasil laporan yang dibuat oleh lembaga Edelman Trust Barometer tahun 2023. Adapun dalam laporan tersebut menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara peringkat ke 2 dalam daftar negara dengan tingkat optimisme ekonomi yang tinggi.
"Pencapaian ini sekaligus mengalahkan negara asal Peter, yaitu Amerika Serikat, yang berada di peringkat 14," tambahnya.
Luhut pun meminta Peter mencatat dalam tulisannya nanti, bahwa Indonesia ingin negara maju memahami satu hal yang penting, bahwa larangan ekspor nikel yang dilakukan RI saat ini secara tidak langsung mempermudah Amerika dan negara lainnya untuk mendapatkan akses terhadap suplai material lithium baterai dari nikel.
"Melihat raut keheranan dari wajah Peter, semakin meyakinkan saya bahwa memang belum banyak yang tahu apa yang sedang dijalankan Indonesia hari ini, wajar bila banyak tentangan yang hadir silih berganti terhadap kebijakan hilirisasi ini.
Meski begitu, Luhut bersyukur karena diberi teladan kepemimpinan yang baik dari Presiden Indonesia, untuk tidak gentar terhadap setiap tantangan dan hambatan yang hadir di masa depan.
"Bahwa efek berlipat ganda yang hadir karena kebijakan hilirisasi bukan saja menjadi penyemangat kami untuk melindungi hak atas pengelolaan sumber daya alam negeri kami secara berdikari, tetapi juga pertanda baik bagi terwujudnya cita-cita bangsa menjadi negara maju di tahun 2045," kata Luhut.
Seperti diketahui, kebijakan hilirisasi Presiden Jokowi telah mendapatkan "serangan" dari sejumlah pihak internasional, mulai dari Uni Eropa yang melakukan gugatan kepada RI melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 2020 lalu, hingga kritikan Dana Moneter Internasional (IMF) yang meminta kebijakan hilirisasi RI ditinjau ulang dan menghapus larangan ekspor bijih nikel dan tidak memperluasnya kepada komoditas lain.
Pada 2020 lalu, Uni Eropa menggugat Pemerintah Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena melarang ekspor bijih nikel. Namun sayangnya, pada Oktober 2022 lalu Indonesia dinyatakan kalah oleh Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/ DSB) WTO.
Namun, pemerintahan Jokowi tak tinggal diam. Indonesia akhirnya resmi mengajukan banding atas kekalahan di WTO tersebut pada Desember 2022 lalu.
Belum juga proses banding dimulai, Uni Eropa kini juga menyiapkan "senjata" baru melawan RI. 'Senjata' baru Uni Eropa tersebut yaitu dibentuknya Peraturan Penegakan atau Enforcement Regulation.
Enforcement Regulation ini merupakan mekanisme di internal Uni Eropa untuk melihat kerugian dari suatu kebijakan yang diambil oleh negara lain di luar Uni Eropa, namun berdampak pada negara-negara Uni Eropa.
Tak hanya itu, Indonesia juga harus mengalami "serangan" lainnya. Kali ini, "serangan" datang dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Pada akhir Juni 2023 lalu, IMF tiba-tiba mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia perlu mempertimbangkan penghapusan secara bertahap kebijakan larangan ekspor nikel dan tidak memperluasnya untuk komoditas lain.
IMF juga meminta agar program hilirisasi di Indonesia dikaji ulang, terutama dari sisi analisa biaya dan manfaat. Menurut lembaga internasional pemberi utang tersebut, kebijakan hilirisasi merugikan Indonesia.
"Kebijakan industri juga harus dirancang dengan cara yang tidak menghalangi persaingan dan inovasi, sambil meminimalkan efek rambatan lintas batas yang negatif," tambahnya.
Dengan demikian, IMF menilai otoritas harus mempertimbangkan kebijakan hilirisasi dalam negeri yang lebih tepat untuk mencapai tujuannya dalam meningkatkan nilai tambah produksi.
"Meningkatkan nilai tambah dalam produksi, dengan menghapus secara bertahap pembatasan ekspor dan tidak memperluas pembatasan untuk komoditas lain," paparnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jreng! Aksi Jokowi Lagi Lagi Dijegal Dunia
