
RI Awas Terjerat Lingkaran Setan, Sekali Masuk Sulit Keluar!

Jakarta, CNBC Indonesia - Hampir 3,3 miliar penduduk dunia hidup dalam negara gagal sistemik yang terjerat dalam lingkaran setan (visicous cycle) utang tak berujung.
Lingkaran setan ini menghabiskan ruang fiskalnya untuk membayar bunga utang dan mengabaikan kepentingan rakyatnya, seperti kesehatan dan pendidikan. Fakta ini diungkapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam laporannya, A World of Debt.
Sekretariat Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan utang publik global mencapai rekor baru US$92 triliun pada 2022 dan negara berkembang memikul jumlah yang tidak proporsional.
Tak bisa dipungkiri krisis utang terkonsentrasi pada negara-negara berkembang miskin. Meskipun tidak memberikan risiko pada sistem keuangan global, Guterres melihat hal ini sebagai hal yang buruk.
Pasar keuangan global mungkin tidak tertekan, tetapi miliaran orang menjadi korban dan level utang ini terus meningkat.
Menurut laporan PBB, jumlah negara yang menghadapi tingkat utang tinggi telah meningkat tajam dari 22 negara pada 2011 menjadi 59 negara pada 2022.
Dan total 52 negara, hampir 40 persen dari negara berkembang, berada dalam masalah utang serius, menurut Guterres.
Guterres mencontohkan di Afrika, jumlah yang dihabiskan untuk pembayaran bunga lebih tinggi daripada pengeluaran untuk pendidikan atau kesehatan.
"Negara-negara berkembang di Asia dan Oseania [tidak termasuk China] mengalokasikan lebih banyak dana untuk pembayaran bunga daripada untuk kesehatan," ungkap bos PBB tersebut.
Demikian pula, di Amerika Latin dan Karibia, negara-negara berkembang mencurahkan lebih banyak uang untuk pembayaran bunga daripada untuk investasi.
"Di seluruh dunia, meningkatnya beban utang menghalangi negara-negara untuk berinvestasi dalam pembangunan berkelanjutan," tambahnya.
Pemicu Lingkaran Setan
Menurut PBB, ada dua faktor pemicu lingkaran setan ini semakin intens. Pertama, kebutuhan finansial negara melonjak saat mereka mencoba menangkis dampak krisis yang berjatuhan termasuk pandemi Covid-19, kenaikan biaya hidup, dan perubahan iklim.
Kedua, PBB mengungkapkan arsitektur keuangan global membuat akses pembiayaan negara-negara berkembang tidak memadai dan mahal.
Guterres mengakui bahwa utang adalah alat keuangan penting yang dapat mendorong pembangunan dan memungkinkan pemerintah untuk melindungi dan berinvestasi pada rakyatnya.
"Tetapi ketika negara-negara terpaksa meminjam untuk kelangsungan ekonomi mereka, utang menjadi jebakan yang hanya menghasilkan lebih banyak utang," tegasnya
PBB memandang reformasi mendalam pada sistem keuangan global tidak akan terjadi dalam semalam. Namun, PBB yakin ada banyak langkah yang bisa diambil sekarang.
Oleh karena itu, Guterres menyampaikan PBB mendorong mekanisme penyelesaian utang yang efektif yang mendukung penangguhan pembayaran, jangka waktu pinjaman yang lebih lama, dan suku bunga yang lebih rendah, termasuk untuk negara berpenghasilan menengah yang rentan.
Menurutnya, pemerintah dapat melakukan upaya meningkatkan pembangunan dan pendanaan iklim dengan meningkatkan basis modal dan mengubah model bisnis Bank Pembangunan Multilateral.
"Mereka dapat memungkinkan koordinasi yang lebih kuat antara bank-bank, untuk mengubah pendekatan mereka terhadap risiko tanpa kehilangan peringkat kredit triple A mereka, sehingga mereka dapat secara besar-besaran memanfaatkan keuangan swasta dengan biaya yang terjangkau bagi negara-negara berkembang," papar Guterres.
![]() Laporan PBB tentang utang publik dunia pada 2022 (Dok: United Nations) |
Indonesia Masuk Lingkaran Setan?
Indonesia bukan negara gagal yang dimaksud PBB. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, Tim Riset CNBC Indonesia menemukan bahwa anggaran pendidikan selalu lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran untuk bunga utang. Setidaknya, itu terjadi dalam delapan tahun terakhir era Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Besarnya anggaran pendidikan tak lepas dari aturan mandatory spending. Sesuai amanat UUD 1945 dan Undang-undangnomor20tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari total APBN. Kebijakan tersebut sudah dimulai sejak 2009.
Sejak tahun tersebut, pemerintah telah melakukan pemenuhan mandatory anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Anggaran pendidikan pun bengkak 182% dari Rp 216,72 triliun pada 2010 menjadi Rp 480,26 triliun pada 2022.
Sebagai catatan, mandatory spending untuk anggaran kesehatan juga sudah berlaku sejak 2016. Namun, aturan tersebut akan dihapus.
Pada 2022, realisasi anggaran kesehatan mencapai Rp 255,39 triliun dan anggaran pendidikan sebesar Rp 480,26 triliun. Bila digabung maka jumlahnya mencapai Rp 735,65 triliun.
Realisasi anggaran pendidikan 2022 jauh lebih rendah dibandingkan alokasi anggarannya yang ditetapkan sebesar Rp 621,29 triliun pada APBN 2022.
Sementara itu, realisasi pengeluaran untuk bunga utang mencapai Rp 386,34 triliun. terkait utang, pemerintah juga mengeluarkan anggaran lain yakni pengeluaran pembiayaan cicilan utang yang mencapai Rp 519,84 triliun pada 2022.
Alokasi tersebut untuk pembayaran cicilan pokok utang luar negeri sebesar Rp 79,28 triliun. Sementara pengeluaran pembiayaan dalam negeri sebesar Rp 440,56 triliun.
Pengeluaran tersebut termasuk pengeluaran untuk pembayaran/pelunasan Surat Berharga Negara (SBN), pengeluaran untuk pelunasan SBN (valuta asing), dan pengeluaran pembiayaan pinjaman dalam negeri.
Kendati anggaran pendidikan masih jauh lebih tinggi dari pembayaran utang tetapi pembiayaan bunga utang mengalami lonjakan yang sangat besar. Dalam lima tahun terakhir , anggaran pendidikan naik 43,9% sementara anggaran pembiayaan bunga utang melesat 49,8%.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article PBB Beberkan Ciri Negara Gagal, Apa Termasuk RI?
