BPJS Watch Soroti Rencana Penghapusan Kelas 1,2,3 Jadi KRIS
Jakarta, CNBC Indonesia - Anggota BPJS Watch Timboel Siregar mengungkapkan pandangannya terkait pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin soal kebijakan BPJS Kesehatan berdasarkan kelas 1, 2, 3 yang ada saat ini menyalahi prinsip asuransi kesehatan nasional.
"Pernyataan Menkes ini sepertinya mau mengatakan Presiden Joko Widodo yang selama ini menandatangani Peraturan Presiden tentang JKN sudah menyalahi prinsip asuransi Kesehatan nasional," kata Timboel dalam keterangan resmi, Senin (17/7/2023).
Menurut Timboel, selama ini Perpres tentang JKN yaitu Perpes Nomor 12/2013 jo. Perpres No. 111 tahun 2013 jo. Perpres No. 19 Tahun 2016 yang diubah menjadi Perpres No. 82 Tahun 2018 jo. Perpres No. 75 Tahun 2019 jo. Perpres No. 64 tahun 2020, yang mengatur tentang pelayanan Kesehatan berdasarkan kelas perawatan 1, 2 dan 3.
Pelayanan Kesehatan dalam Program JKN yang diatur dalam Perpres-perpres tersebut tidak membedakan pelayanan medis bagi seluruh peserta, namun memang ada pembagian kelas perawatan berdasarkan ruang perawatan yang merupakan pelayanan non-medis.
Menurutnya, pelaksanaan jaminan sosial di UU SJSN dan UU BPJS didasarkan pada 9 prinsip yaitu, kegotong-royongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas; kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta JKN.
"Dari 9 prinsip tersebut, menurut saya, tidak ada yang dilanggar dalam pelaksanaan Program JKN yang sudah di tahun kesepuluh saat ini. Saya berharap Menkes bisa menjelaskan dalilnya dengan pendekatan 9 prinsip tersebut bahwa kebijakan BPJS Kesehatan berdasarkan kelas 1, 2, 3 yang ada saat ini menyalahi prinsip asuransi kesehatan nasional," jelas dia.
Menurutnya, regulasi tentang JKN memposisikan seluruh peserta JKN mendapatkan pelayanan medis yang sama, dan selama saya menangani kasus-kasus di Program JKN, tidak ada peserta yang mengeluh dan merasa didiskriminasi atau mendapat ketidakadilan karena adanya pembagian kelas perawatan 1, 2 dan 3. Selama ini, yang menjadi keluhan masyarakat peserta JKN adalah akses terhadap rumah sakit, khususnya akses untuk rawat inap.
Di sisi lain, hingga di tahun kesepuluh penyelenggaraan JKN, masih ada keluhan peserta yang sulit mendapatkan ruang perawatan dengan penjaminan JKN sehingga dengan terpaksa harus menjadi pasien umum. Demikian juga masih ada peserta JKN yang harus menanti untuk operasi dan dipulangkan dalam kondisi belum layak pulang, harus membeli obat sendiri, dsb.
"Yang lebih penting saat ini adalah bagaimana Kementerian Kesehatan bisa mengatasi masalah-masalah yang ada saat ini, sehingga akses peserta JKN terhadap ruang perawatan semakin mudah diperoleh, bukan malah membuat Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dengan satu ruang perawatan," kata dia.
Menurut Timboel adal masalah dalam akses ruang perawatan. Masalah ini, tidak lepas dari sisi jumlah tempat tidur (TT) di RS yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. KRIS telah diuji coba pada 10 rumah sakit milik pemerintah dan swasta, dan hasil uji coba ini sudah dipresentasikan Menkes di Komisi IX DPR RI, pada 13 Februari 2023 lalu. Jumlah TT yang akan disediakan RS dengan KRIS satu ruang perawatan, berpotensi menurun.
Hal ini dibuktikan pada presentasi Menkes yang menyatakan dari 10 RS yang diuji coba, tujuh RS mengalami penurunan jumlah TT sementara tiga RS swasta yaitu RS Santoso Centra, RS Awal Bros, dan RS Ananda Babelan jumlah TT tidak berubah.
Selain itu potensi menurunnya jumlah TT bagi peserta JKN juga karena pelaksanaan KRIS diatur di Pasal 18 PP No. 47 tahun 2021, yang menyatakan jumlah TT rawat inap untuk pelayanan rawat inap kelas standar paling sedikit 60% dari seluruh tempat tidur untuk rumah sakit milik pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah; dan 40% dari seluruh tempat tidur untuk rumah sakit milik swasta.
Di saat ini kelas perawatan 1, 2 dan 3 semuanya diabdikan bagi peserta JKN. Menurutnya dengan Pasal 18 PP No. 47 RS pemerintah bisa saja hanya mengalokasikan 70% TT (karena paling sedikit 60%) dan RS swasta hanya mengalokasikan 60% TT (paling sedikit 40%) untuk peserta JKN. Selebihnya dialokasikan untuk pasien umum.
"Menurunkan jumlah TT bagi pasien JKN akan terjadi persoalan lebih besar lagi. Hal ini yang harus diperhatikan Pak Menkes. Saya khawatir KRIS menyebabkan pasien JKN akan semakin kecewa karena lebih sulit mengakses ruang perawatan. Ini akan menciptakan ketidakpuasan pasien semakin besar. Dampaknya tingkat tunggakan iuran akan semakin tinggi," jelas Timboel.
Masalah lain yang ditimbulkan KRIS dengan satu ruang perawatan adalah penetapan iuran untuk kelas mandiri. Dengan adanya KRIS maka iuran kelas 1, 2 dan 3 peserta mandiri akan jadi satu iuran. Iuran tunggal tersebut pastinya di atas Rp 42.000 yang akan menyebabkan peserta mandiri kelas 3 akan lebih sulit membayar iuran beserta keluarganya.
Pelaksanaan KRIS satu ruang perawatan berpotensi menurunnya pendapatan iuran peserta, yang berdampak terjadinya defisit pembiayaan JKN.
Untuk RS, tentunya dengan KRIS satu ruang perawatan akan membuat RS harus melakukan renovasi ruang perawatannya dari 3 kelas menjadi 1 kelas untuk bisa memenuhi 12 kriteria KRIS, dan ini akan membutuhkan dana renovasi. Tidak semua RS memiliki dana segar untuk melakukan renovasi ruang perawatan. Bila tidak bisa memenuhi 12 kriteria KRIS maka berpotensi tidak bekerja sama lagi dengan BPJS Kesehatan. Ini pun akan mengurangi jumlah TT yang bisa diakses pasien JKN.
"Terkait dengan pernyataan Menkes tentang masyarakat yang mendapatkan layanan VVIP menggunakan BPJS Kesehatan, saya menilai Menkes tidak paham dengan konsep selisih biaya yang diatur di Peraturan Menteri Kesehatan No. 51 Tahun 2018 yang juga dilegitimasi di UU Kesehatan yang baru disahkan," jelasnya.
Tentunya peserta yang naik kelas perawatan akan membayar selisih biayanya sendiri, atau menggunakan asuransi swasta. Sementara BPJS Kesehatan hanya membayar sesuai kelas perawatan yang menjadi haknya.
Pelaksanaan KRIS berpotensi menimbulkan masalah yang lebih besar lagi baik bagi peserta, RS maupun BPJS Kesehatan. Dia mengharapkan pemerintah menerapkan KRIS dengan standardisasi kelas perawatan 1,2 dan 3 yaitu kelas 1 maksimal 2 TT, kelas 2 maksimal 3 TT dan kelas 3 maksimal 4 TT.
"Menkes seharusnya fokus membenahi masalah-masalah yang ada saat ini saja, bukan malah membuat regulasi yang akan menimbulkan masalah lebih besar," pungkas Timboel.
(rah/rah)