AS "Ditusuk dari Belakang", Bukti Baru Selingkuh Arab-China
Jakarta, CNBC Indonesia - Hubungan antara China dan wilayah Timur Tengah (Timteng) terus berkembang. Bahkan, jalinan ini membuat pengaruh Amerika Serikat (AS) di wilayah itu memudar.
Hal ini terlihat dari sejumlah hal. Mulai dari minyak, kendaraan listrik pariwisata dan teknologi.
Dari sektor minyak, raksasa milik negara Arab Saudi, Saudi Aramco akan menginvestasikan US$ 3,6 miliar (Rp 54 triliun) di Rongsheng Petrochemical yang berbasis di Hangzhou, China. Ini diungkap sebuah laporan The Wall Street Journal (WSJ).
Dari sektor kendaraan listrik, kesepakatan juga telah ditandatangani seperti investasi US$ 5,6 miliar (Rp 85 triliun) ke dalam usaha patungan dengan Human Horizons, sebuah perusahaan kendaraan listrik China.
Entitas bekingan pemerintah Abu Dhabi juga telah membeli saham senilai lebih dari US$ 730 juta (Rp 11 triliun) di NIO, pembuat kendaraan listrik Tirai-Bambu.
Fakta lain juga terungkap di Konferensi Bisnis Arab-China di Riyadh pada bulan Juni. Kepala bursa saham Hong Kong meramalkan bahwa investasi dana kekayaan negara raksasa di Timur Tengah di China dapat berjumlah antara US$ 1 triliun dan US$ 2 triliun pada tahun 2030.
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi antara China dan Timur Tengah menimbulkan ancaman besar bagi AS. Sejumlah pengamat meyakini hegemoni negara itu dan campur tangan soal minyak dalam beberapa dekade mendatang tak akan mulus.
Di sisi lain, investasi antara China dan Timur Tengah menghasilkan lebih banyak peluang untuk membentuk sekutu politik. Beberapa perjanjian baru juga menunjukan potensi itu,
"Bahkan, perusahaan intelijen buatan yang berbasis di Hong Kong yang masuk daftar hitam AS, SenseTime, menandatangani kesepakatan di Arab Saudi tahun ini. Keduanya akan mengembangkan pariwisata digital dan proyek kota pintar di negara tersebut," muat media itu lagi.
Dana kekayaan kedaulatan Abu Dhabi, Mubadala, juga telah berinvestasi di perusahaan kecerdasan buatan China 4Paradigm sejak 2021. Maret ini, AS menambahkan perusahaan China itu ke daftar kontrol ekspornya.
Sementara itu, kepala manajer aset ARTE Capital Group yang berbasis di Hong Kong, Ethan Chan, mengatakan ada alasan dibalik bergesernya tren investasi ini. Ini terkait lingkungan geopolitik dan alokasi investasi ke China yang sejauh ini belum besar.
"Pertama, hubungan antara AS dan Dewan Kerjasama Teluk (GCC) telah mengalami kemunduran, sehingga mereka berinvestasi lebih sedikit ke AS," ujarnya pada Al Mayadeen, dikutip Selasa (11/7/2023).
Sementara itu, untuk jalur hubungan investasi dan bisnis dari China ke Timur Tengah juga berjalan dengan baik. Huawei Technologies, yang masuk daftar hitam Washington, telah membantu Uni Emirat Arab (UEA) untuk membangun jaringan 5G pertama di wilayah Teluk dan menandatangani perjanjian dengan perusahaan telekomunikasi milik negara Arab Saudi.
Dilaporkan pula dalam menjalankan hubungan ini, Beijing menempatkan Hong Kong sebagai stasiun penting hubungan bisnis kedua pihak. Kepala Eksekutif Hong Kong, John Lee, memimpin delegasi ke Arab Saudi pada bulan Februari dan membujuk Aramco untuk menjual saham di bursa saham Hong Kong.
Kepada South China Morning Post (SCMP), Menteri Komunikasi dan Teknologi Informasi Saudi Abdullah Al-Swaha mengatakan Saudi bermaksud untuk memperkuat keterlibatannya dengan Hong Kong dengan memanfaatkan kota itu sebagai jembatan ke China. Ini untuk merangsang transformasi di bawah Visi 2030 Riyadh.
(sef/sef)