IMF Tiba-Tiba Usik Jokowi, Negara Tetangga Bilang Gini

Jakarta, CNBC Indonesia - Dana Moneter Internasional (IMF) tiba-tiba mengusik Indonesia dengan mengkritik kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, IMF pun tak segan untuk meminta Pemerintah Indonesia menghapus kebijakan yang telah digembar-gemborkannya itu.
Kebijakan Presiden Jokowi yang dikritik dan bahkan diminta dihapus oleh IMF tersebut yaitu terkait larangan ekspor mineral mentah demi mendorong hilirisasi mineral di Tanah Air.
Kendati demikian, di tengah gempuran dari lembaga internasional tersebut, negara tetangga RI justru memuji program hilirisasi Presiden Jokowi ini.
Dua negara tetangga RI, yakni Australia dan Papua Nugini, tak segan memberikan pujian dan menyatakan dukungannya untuk program hilirisasi Indonesia.
Hal tersebut diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.
Luhut menyebut, Australia mendukung Indonesia dan melihat bahwa program hilirisasi di dalam negeri merupakan hal yang sangat maju.
"Mereka melihat malah Indonesia dengan adanya downstreaming ini bisa maju, dengan leadership Presiden Jokowi Indonesia melakukan hilirisasi digitalisasi. Pekerjaan holistik terintegrasi dan itu dinyatakan PM Australia (Anthony Albanese) kemarin," ungkap Luhut dalam Economic Update 2023 CNBC Indonesia, Senin (10/7/2023).
Bahkan, lanjut Luhut, PM Australia menyetujui untuk ikut berpartisipasi dalam hilirisasi di Indonesia melalui ikut berinvestasi membangun pabrik komponen baterai kendaraan listrik (EV).
Dengan demikian, nantinya Australia tidak hanya menjual 60 ribu ton lithium ke Indonesia, namun juga memiliki ekuitas dalam pabrik baterai EV di Indonesia.
"Kita kan sudah impor 60 ribu ton lithium dan kita smelting di Morowali akan mulai saya kira awal tahun depan proses smelternya. Kemarin ke sana kita minta lagi bisa gak 60 ribu lagi tapi kalian ikut partisipasi, ada equity juga," kata Luhut.
Dengan tambahan tersebut, maka fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) yang akan terbangun merupakan milik Indonesia-Australia. Sementara itu, teknologi pengolahannya nantinya dapat menggunakan dari Tiongkok.
"Itu disetujui Perdana Menterinya karena saya juga menyampaikan dalam bilateral diminta Presiden dan sampaikan itu," kata dia.
Tak hanya Australia, negara tetangga RI lainnya, yakni Papua Nugini juga mengatakan hal serupa.
Perdana Menteri Papua Nugini bahkan tak segan untuk langsung bertanya-tanya seputar program hilirisasi saat Presiden Jokowi berkunjung ke Papua Nugini pekan lalu.
Bahkan, negara tetangga RI ini tak segan untuk mengajak kerja sama dengan Indonesia untuk memajukan hilirisasi di Papua Nugini.
"Jadi kemarin tiba di sana itu Perdana Menteri jemput Presiden (Jokowi), tapi yang menarik mereka langsung bicara hilirisasi. Indonesia begitu maju, bisa gak kita kerja sama," ucapnya.
Selain itu, Luhut juga mengungkapkan adanya potensi kerja sama berupa ekspor listrik dari Indonesia ke Papua Nugini. Hal tersebut setidaknya bisa mengurangi beban Indonesia yang selama ini kelebihan pasokan listrik.
"Sebelumnya saya brief Presiden pak mereka listrik harganya 37 sen per kWh padahal di kita 6-9 sen per kWh memang ada yang tinggi. Saya bilang itu tawarin saja Pak untuk mereka dapat listrik dari kita atau kita bangun atau kerja sama," ujar Luhut.
Oleh sebab itu, Indonesia dan Papua Nugini akhirnya sepakat untuk membuat task force Satuan Tugas (Satgas) Hilirisasi Indonesia-Papua Nugini.
Sebelumnya, pada akhir Juni 2023 lalu IMF tiba-tiba mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia perlu mempertimbangkan penghapusan secara bertahap kebijakan larangan ekspor nikel dan tidak memperluasnya untuk komoditas lain.
IMF juga meminta agar program hilirisasi di Indonesia dikaji ulang, terutama dari sisi analisa biaya dan manfaat. Menurut lembaga internasional pemberi utang tersebut, kebijakan hilirisasi merugikan Indonesia.
"Biaya fiskal dalam hal penerimaan (negara) tahunan yang hilang saat ini tampak kecil dan ini harus dipantau sebagai bagian dari penilaian biaya-manfaat ini," kata IMF dalam laporannya Article IV Consultation, dikutip Selasa (27/6/2023).
Oleh sebab itu, IMF mengimbau adanya analisa rutin mengenai biaya dan manfaat hilirisasi. Analisa ini harus diinformasikan secara berkala dengan menekankan pada keberhasilan hilirisasi dan perlu atau tidaknya perluasan hilirisasi ke jenis mineral lain.
"Kebijakan industri juga harus dirancang dengan cara yang tidak menghalangi persaingan dan inovasi, sambil meminimalkan efek rambatan lintas batas yang negatif," tambahnya.
Dengan demikian, IMF menilai otoritas harus mempertimbangkan kebijakan hilirisasi dalam negeri yang lebih tepat untuk mencapai tujuannya dalam meningkatkan nilai tambah produksi.
"Meningkatkan nilai tambah dalam produksi, dengan menghapus secara bertahap pembatasan ekspor dan tidak memperluas pembatasan untuk komoditas lain," paparnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Profesor Australia yang Disandera di Papua Nugini Dibebaskan
