Economic Update

Penting! Hilirisasi Harus 'Kawin' dengan Industrialisasi

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
10 July 2023 08:25
Ekonom Senior, Chatib Basri dalam acara Outlook Perekonomian Indonesia 2023, Rabu (21/12/2022). (Tangkapan layar via Youtube PerekonomianRI)
Foto: Ekonom Senior, Chatib Basri dalam acara Outlook Perekonomian Indonesia 2023, Rabu (21/12/2022). (Tangkapan layar via Youtube PerekonomianRI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom senior Indonesia yang juga merupakan mantan menteri keuangan Chatib Basri mengungkapkan risiko program hilirisasi Presiden Joko Widodo terhadap daya tahan ekonomi Indonesia bila tak terus dikembangkan.

Menurutnya, program yang sempat IMF kritik dan mereka minta hentikan itu memang baik bagi perekonomian Indonesia secara garis besar, lantaran Indonesia tak lagi akan mengekspor komoditas andalan mentah-mentah, termasuk nikel yang kini menjadi primadona.

"Nikel itu sampai sekarang contoh sukses, tapi apakah akan terus berlangsung atau enggak itu yang harus diperhatikan," tegas Chatib kepada CNBC Indonesia, dikutip Senin (10/7/2023).

Dia menegaskan, salah satu risiko dari program hilirisasi ialah menyebabkan harga komoditas itu akan sangat mahal di tingkat global, menyebabkan banyak negara mencari barang pengganti sebagai bahan baku industrinya.

Tanpa industrialisasi di dalam negeri, komoditas mineral mentah yang tak boleh di ekspor itu akan menekan penerimaan negara. Selain karena tak lagi ada yang mau membelinya, akibat harganya melonjak, pemroses di dalam negeri juga tak terjadi karena industrialisasi tak berjalan.

"Misalnya nikel yang ekspornya dilarang, maka harganya akan naik. Pertanyaannya mungkin enggak negara lain bikin substitusi nikel? waktu Arab Saudi embargo minyak harga minyak naik, muncul enggak renewable energy? rubber juga waktu harganya tinggi muncul engggak sintetik rubber?" tegas Chatib.

"Jadi Indonesia enggak bisa berhenti hanya larang ekspor nikel, kita harus masuk proses industrinya juga, kalau enggak itu diambil orang. Jadi kebijakan itu benar, tapi harus di-combine dengan industrialisasi," tegas Chatib Basri.

Meski begitu, dia menganggap saran IMF dalam article IV yang meminta pemerintah menghentikan hilirisasi tak perlu dituruti. Sebab, yang mengetahui untung rugi dari kebijakan negara adalah pemerintah dan masyarakat Indonesia sendiri.

"Dia bisa bikin assement tentang Indonesia, tapi tidak ada alasan Indonesia harus nurut dengan siapapun, jadi kalau kita bikin kebijakan bukan karean disuruh IMF-World Bank, tapi kita lihat kebijakan itu baik atau enggak," tutur Chatib Basri.

Pada 2020, Jokowi sudah melarang ekspor bijih nikel ke luar negeri. Kegiatan larangan ekspor itu dibarengi dengan pengembangan hilirisasi nikel di dalam negeri.

Hingga saat ini, pemerintah mengklaim hilirisasi nikel pada 2022 telah mencetak nilai tambah sebesar US$ 33 miliar atau Rp514,3 triliun (kurs Rp15.585 per US$). Realisasi itu naik signifikan dari yang tahun 2021 mencapai US$ 20,9 miliar, bahkan dari tahun 2018-2019 yang hanya US$ 3,3 miliar.

Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenkomarves Septian Hario Seto menyatakan, pada tahun 2023 ini, nilai tambah dari hilirisasi nikel di dalam negeri bisa naik lagi, ditargetkan mencapai US$ 38 miliar atau Rp592,2 triliun (kurs Rp15.585 per US$) pada tahun 2023.

"(Tahun ini) sekitar US$ 35-38 miliar," kata Seto kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (10/5/2023).


(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Hilirisasi Nikel Jadi Kunci RI Bangun Industri Berkelanjutan

Next Article Minta Jokowi Hapus Hilirisasi, Bahlil: IMF Mungkin Lagi Tidur

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular