
Aman! Gak Kayak AS & Eropa, Indonesia Jauh dari Jurang Resesi

Jakarta, CNBC Indonesia - Fundamental ekonomi Indonesia dinilai masih tangguh di tengah gelombang ketidakpastian dunia, sehingga perekonomian tanah air diperkirakan hanya akan tumbuh melambat, namun tidak akan jatuh ke jurang resesi.
Ramalan-ramalan mengenai ketangguhan ekonomi Indonesia datang dari berbagai lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dan Bank Dunia/World Bank.
IMF pada April 2023 telah melakukan revisi ke atas pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 4,8% menjadi 5% untuk tahun 2023, dan akan meningkat 5,1% pada 2024. Sementara itu, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 mencapai 4,9% dan akan stagnan hingga 2024.
Ekonom Senior sekaligus Menteri Keuangan (periode 2013-2014) Muhammad Chatib Basri punya pandangan lain. Dia tak seoptimis IMF dan Bank Dunia, namun dirinya sama-sama meyakini bahwa Indonesia tidak akan mengalami resesi ekonomi.
"Indonesia tidak akan resesi. Yang terjadi, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya tumbuh di bawah 5%, saya tidak seoptimis IMF dan Bank Dunia. Saya memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar 4,5% sampai 5%," jelas Chatib saat dihubungi Jumat (7/7/2023).
Proyeksi Chatib tersebut masih tidak berubah dari proyeksi dirinya yang pernah diungkapkan pada Oktober 2022 silam.
"Sama seperti tahun lalu. Sumber ekonomi PDB itu dari konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dikurangi ekspor dan impor," kata Chatib lagi.
Chatib menjelaskan, bahwa rumus menghitung Produk Domestik Bruto (PDB) yakni: C + I + G + (X-M). Merujuk pada keterangan tersebut maka C mengartikan konsumsi rumah tangga, I artinya investasi, G merupakan konsumsi negara dan X adalah ekspor dikurangi M yakni impor.
Secara sederhana, PDB merupakan total nilai produksi dan jasa yang dihasilkan semua orang atau perusahaan dalam satu negara, termasuk nilai tambah dalam kurun waktu tertentu yang biasanya satu tahun.
Chatib merinci, dari sisi investasi. Kata dia, Bank Indonesia (BI) masih belum punya ruang untuk menurunkan suku bunga acuan. Sebab Bank Sentral Amerika Serikat (AS) juga kemungkinan masih belum akan menurunkan suku bunga karena inflasi yang masih tinggi.
Jika suku bunga BI diturunkan, maka akan ada spread atau jarak yang jauh antara suku bunga acuan BI dan Fed Fund Rate. Jika spread terlalu jauh, investor akan putar arah dan meninggalkan pasar keuangan domestik.
Tingkat bunga yang masih akan tinggi, berimplikasi pada investasi yang kemungkinan juga akan slow down atau melemah. "Datanya mulai terlihat dari realisasi pada tiga kuartal terakhir."
Kemudian dari sisi fiskal, hingga semester I-2023 Kementerian Keuangan mencatat APBN mengalami surplus sebesar Rp 152,3 triliun. Surplus tersebut berasal dari pendapatan negara yang sebesar Rp 1.4079 triliun serta belanja negara yang mencapai Rp 1.254,7 triliun pada Januari-Juni 2023.
"Kalau pemerintah surplus, itu sungguh kontraksi. Artinya penerimaan negara lebih besar dibandingkan dengan yang dikeluarkan. Berarti kalau fiskal kontraksi, G (government) turun dan investasi sudah turun," jelas Chatib.
Kemudian dari sisi ekspor dan impor. Dimana harga komoditas seperti batubara dan CPO yang banyak diproduksi di Indonesia, mulai mengalami penurunan dalam enam bulan terakhir. Ditambah pertumbuhan ekonomi global yang melambat.
Jika pertumbuhan ekonomi global yang melambat, maka permintaan pasti akan turun. Negara mitra dagang utama RI, yakni China dan AS ekonominya belum pulih dari pandemi Covid-19, sehingga banyak permintaan dari dua negara tersebut berkurang dan berdampak terhadap kinerja ekspor domestik.
"Jadi ekspor dan impor itu pasti turun. Ekspor turun, impor turun. Nah impor turun bukan berita baik, karena 90% yang diimpor oleh Indonesia adalah barang modal dan baku. Jadi, kalau barang modal dan bahan baku turun, pasti investasinya turun," jelas Chatib.
Dari sisi konsumsi masyarakat (C), Chatib mengatakan, berdasarkan data Survei Konsumen BI pada Mei 2023, mengindikasikan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi meningkat dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Mei 2023 sebesar 128,3, lebih tinggi dibandingkan 126,1 pada April 2023.
Kendati demikian, kata Chatib, dari pengamatannya berdasarkan Survei Konsumen BI mengindikasikan adanya pengeluaran masyarakat tertahan, namun nilai tabungannya menurun.
"Artinya, bahwa orang untuk kelas menengah bawah tidak bisa menurunkan konsumsinya, orang kan harus hidup. Maka untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya, yang dia lakukan adalah menarik tabungannya," jelas Chatib.
"Nasabah dengan tabungan di atas Rp 5 miliar itu growth-nya masih tinggi double digit. Tapi, tabungan di bawah menurun. Sehingga untuk mempertahankan konsumsi mereka bisa bertahan, tapi lambat laun konsumsinya akan diturunkan," kata Chatib lagi.
Oleh karena itu, kata Chatib konsumsi masyarakat juga akan menurun.
"Maka lengkaplah persamaan saya, PDB = C + I + G + (X-M) semuanya turun. Maka dalam kondisi ini, GDP atau growth masih turun. Dari tahun lalu saya katakan, ekonomi Indonesia akan melambat, tapi tidak resesi. Indonesia akan tumbuh lebih rendah dibandingkan ekonomi 2022 yang sebesar 5,3%," kata Chatib mengakhiri obrolan.
(cap/cap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ekonomi RI Diramal Lesu di 2023, Ditinggal Vietnam & Filipina
