
Shell Cabut dari Blok Masela, Ngapain Pertamina Bayar!

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Pertamina (Persero) akhirnya menyepakati proses pembelian hak partisipasi atau participating interest (PI) sebesar 35% Shell Upstream Overseas Ltd di Blok Masela. Bahkan, penandatanganan perjanjian pengalihan PI tersebut kabarnya akan dilakukan di bulan Juli 2023 ini.
Namun, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto menilai, alih-alih Pertamina membeli atau membayar PI dari Shell, seharusnya perusahaan migas pelat merah ini bisa masuk ke Blok Masela tanpa mengeluarkan uang sepeserpun.
"Siapa tahu tidak ada harga kan lebih mantap. Iya dong, ngapain bayar-bayar," ungkap Djoko saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (4/7/2023).
Menurut Djoko, dalam regulasi, apabila Inpex selaku operator dan mitranya yakni Shell tidak melakukan kegiatan sama sekali hingga 5 tahun sejak rencana pengembangan atau Plan of Development (PoD) ditandatangani pada 2019, Blok Masela bisa saja kembali ke negara. Dengan demikian, negara bisa menugaskan Pertamina untuk masuk ke dalam Blok Masela.
Namun demikian, PoD juga dapat diperpanjang apabila operator belum mendapatkan komitmen Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG). Hal tersebut termuat dalam aturan turunan lainnya.
"Jadi yang harus dikejar adalah pembeli gasnya, PJBG-nya, kalau nggak ada pembeli gasnya ya nggak akan dikembangkan. Itu yang paling penting di hulu migas, regulasinya mengatakan itu," kata Djoko.
Sebelumnya, Praktisi Minyak dan Gas Bumi (migas) Hadi Ismoyo menilai, masuknya Pertamina ke dalam pengelolaan Blok Masela dinilai kurang tepat. Apalagi, kalau hal tersebut dilakukan sebagai aksi korporasi.
Menurut Hadi, ini bisa cukup berisiko apabila yang dilakukan Pertamina ini merupakan aksi korporasi semata. Sebab, proyek Blok Masela hingga kini belum mendapatkan kesepakatan Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) atau Gas Sales Agreement (GSA) dengan calon pembeli.
"Sampai saat ini tak satupun GSA ditandatangani, sedangkan salah satu syarat pengembangan gas, harus sudah ada GSA untuk memastikan pengambilan investasi dan profit," ujar Hadi kepada CNBC Indonesia, Selasa (4/7/2023).
Namun demikian, jika hal tersebut merupakan penugasan dari pemerintah, menurut Hadi sebaiknya negara dapat memberikan dukungan dengan aspek legal yang layak untuk Pertamina. Dengan demikian, Pertamina tidak akan disalahkan di kemudian hari.
Seperti diketahui, Pertamina akhirnya menyepakati proses pengambilalihan hak partisipasi atau participating interest (PI) 35% milik Shell Upstream Overseas Ltd di Blok Masela, Maluku. Bahkan, proses penandatanganan perjanjian pengalihan PI tersebut kabarnya akan dilakukan di bulan ini.
Dalam proses akuisisi PI 35% tersebut, Pertamina bakal menggandeng Petronas. Pertamina bakal memegang kepemilikan PI sebesar 20%, sedangkan Petronas akan menggenggam 15%.
Proyek Masela ini dikatakan "raksasa" karena mulanya diperkirakan akan menelan biaya hingga US$ 19,8 miliar, belum termasuk penggunaan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture, Utilization & Storage/ CCUS). Bila penerapan teknologi CCUS bisa meningkatkan investasi sekitar US$ 1,4 miliar, artinya investasi proyek gas Blok Masela ini bisa melonjak menjadi US$ 21,2 miliar atau sekitar Rp 318 triliun (asumsi kurs Rp 15.000 per US$).
Blok Masela ini merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan ditargetkan bisa menghasilkan gas "jumbo" sebesar 1.600 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) atau setara 9,5 juta ton LNG per tahun (mtpa) dan gas pipa 150 MMSCFD, serta 35.000 barel minyak per hari.
Proyek ini dikelola oleh Inpex Masela Ltd yang bertindak sebagai operator dan memegang hak partisipasi 65% dan 35% masih dipegang oleh Shell.
Inpex dan mitranya nantinya akan membangun Kilang Gas Alam Cair (LNG) di darat yang mulanya ditargetkan sudah bisa beroperasi pada 2027. Terbaru, operasional proyek ini diperkirakan mundur menjadi 2029.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pertamina Ungkap Calon Partner buat Beli Saham Shell, Siapa?
