Pembabatan Hutan Turun, Jokowi Ada Senjata Sakti Lawan Eropa
Jakarta, CNBC Indonesia - Jumlah hutan yang dibabat saat era Presiden Joko Widodo turun drastis. Hasil riset LPEM FEB Universitas Indonesia membeberkan datanya.
"Dalam hal penurunan deforestasi, capaian Indonesia cukup baik, dimana pada periode 2019-2020 terjadi penurunan sebesar 75,03%, periode 2021-2022 turun 8,4%," ungkap LPEM UI dalam risetnya, Selasa (4/7/2023).
Data ini cukup untuk menjadi senjata Indonesia melawan Uni Eropa. Seperti diketahui UE memberlakukan Undang Undang Deforestasi atau EU Deforestation-Free Regulation (EUDR) sejak 16 Mei 2023. UU ini diklaim Uni Eropa merupakan salah satu bentuk dari komitmen mereka dalam memerangi deforestasi di dunia.
Dengan jumlah hutan yang dibabat turun drastis artinya UE tidak bisa menjegal produk Indonesia, khususnya sawit. Sawit dinilai sebagai komoditas utama pengerek ekonomi Indonesia
"Indonesia juga dapat mengaitkan industri sawit nasional dengan capaian SDGs, agenda internasional yang tentunya sangat didukung UE. Studi LPEM UI tahun 2019 menunjukkan bahwa setiap 10% peningkatan area perkebunan sawit akan tercipta 1,8% peningkatan pendapatan per kapita, mengurangi tingkat kemiskinan 0,05% dan tingkat pengangguran 0,02%," sebutnya.
Semua data-data ini bisa dibawa Indonesia untuk berunding dengan UE dalam Indonesia-EU CEPA. EUDR akan menjadi salah satu strategi/bargaining chip UE untuk negosiasi terhadap Indonesia.
"Indonesia dapat menegosiasikan cut-off deforestasi (saat ini berada di tanggal 31 Desember 2020) untuk menunjukkan capaiannya dalam mengurangi deforestasi," imbuhnya.
Namun perlu dicatat, dalam negosiasi EUDR ini Indonesia perlu mengantispasi kemungkinan permintaan UE sebagai kompensasi. Misalnya agar Indonesia melakukan relaksasi larang ekspor nikel dan bauksit, serta kemudahan partisipasi perusahaan asing dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah (PBJ) yang nilainya mencapai lebih dari Rp 1.000 triliun tiap tahunnya.
"Permasalahan EUDR sebaiknya tidak dikaitkan/ditukar dengan relaksasi ekspor nikel dan alumina. Juga sebaiknya tidak dikaitkan dengan kebijakan PBJ, karena PBJ harus tetap dapat mempriroitaskan pada produsen dalam negeri, khususnya fokus pada kemampuan UMKM untuk menjadi vendor PBJ. Dengan demikian target 40% partisipasi UMKM dalam PBJ akan tercapai," tutup LPEM UI.
(wur/wur)