Chaos Prancis Ungkap Aib Terbesar Negara 'Surga' Imigran
Jakarta, CNBC Indonesia - Kematian Nahel Merzouk, pemuda imigran Algeria berusia 17 tahun, yang ditembak polisi memantik demonstrasi oleh para 'kaum terpinggirkan'. Mereka adalah generasi muda dari kaum imigran yang pada akhirnya menjadi marah dan berbuat anarkis dengan berbuat kerusuhan dan penjarahan.
Meski dianggap negatif, tindakan tersebut berujung pada terbongkarnya permasalahan utama di Prancis, yakni seputar diskriminasi dan rasialisme di kalangan imigran. Mereka yang baru tiba atau sudah menyatu dengan sistem kehidupan Prancis dianggap sebagai 'orang baru' atau kelas dua. Mereka kerap terjerat kemiskinan, segregasi rasial, dan mendapat perlakuan tidak adil.
Hal ini tentu menjadi paradoks. Prancis yang selama ini digaungkan sebagai negeri impian, sebenarnya menyimpan masalah diskriminasi yang terpendam.
Negeri 'Surga' Imigran
Jejak imigran di Prancis bukan 1-2 dekade terakhir saja. Sejarah mencatat bahwa Prancis memang menjadi surga para imigran. Menurut Jacques Barou dalam Integration of Immigrants in France (2014), orang-orang dari luar Prancis sudah datang sejak abad ke-19.
Awalnya pendatang berasal dari negeri tetangganya, yakni Inggris, Irlandia, Jerman, Italia dan kawasan Skandinavia. Penyebab kedatangan mereka ada dua, yakni murni mencari peruntungan karena Prancis sukses menjalankan industrialisasi dan kondisi internal negara asal yang mayoritas disebabkan oleh konflik.
Sebagai negara penampung, Prancis menerima dengan terbuka. Bagi Prancis, kedatangan orang baru dipercaya mampu mendongkrak perekonomian. Dan sikap ini terus berlangsung di tahun-tahun berikutnya hingga muncul orang-orang dari non-Eropa yang juga datang ke Prancis.
Orang-orang non-Eropa ini berasal dari Asia (Turki), Afrika (Aljazair & Maroko), dan sebagian Amerika Latin. Namun, mereka datang bukan hanya ingin mewujudkan mimpi kesuksesan di Prancis, tetapi juga karena terusir dari negara asalnya akibat konflik. Atas dasar ini, warga seperti Nahel Merzouk datang ke Prancis dan menetap.
Mengutip situs Le Monde, kedatangan para imigran ini mencapai puncaknya sejak akhir abad ke-20 atau usai Prancis meratifikasi Perjanjian Schengen. Sebagai catatan, perjanjian tersebut mengharuskan Prancis menerima imigran yang terusir akibat konflik yang bergejolak di tanah airnya. Bahkan, Prancis juga harus memberi kewarganegaraan bagi mereka.
Akibatnya, tercatat ada 922.000 orang Afrika Utara dan 486.000 orang Asia yang datang dan menetap di Prancis. Meski begitu, derasnya arus kedatangan imigran menimbulkan permasalahan pelik yang membuat mereka sulit terintegrasi dengan sistem kehidupan Prancis.
Kegagalan Integrasi
Dalam laporan Anne Chemin di Le Monde pada 2023 lalu disebutkan bahwa sejak abad ke-19, atau ketika imigran datang, mereka sudah menjadi kambing hitam dalam krisis Prancis. Penyebabnya tentu saja diakibatkan oleh kelakuan buruk para imigran itu sendiri.
Para imigran kerap berbuat onar, seperti penipuan dan tindak kejahatan lain. Saking banyaknya yang melakukan hal demikian, maka penduduk lain menganggap kelakuan para imigran sama, sehingga menimbulkan stereotip yang berlangsung lintas generasi. Hal inilah yang kemudian membuat sulitnya terjadi integrasi antara kedua pihak.
Alhasil, lahirlah pemisahan-pemisahan di sektor publik. Jacques Barou mencontohkan pemisahan itu berupa akses pendidikan dan segregasi tempat tinggal. Masalah inilah yang menurut Jacques menjadi biang utama kegagalan integrasi.
Parahnya, masalah ini malah dilanggengkan oleh pemerintah Prancis sendiri. Dalam laporan sosiolog University of California, Jean Beaman, pemerintah Prancis pada dasarnya tidak mengakui dan mempertimbangkan mereka di segala lini.
Seperti saat mendata populasi, mereka tidak mencatumkan para imigran yang minoritas itu. Akibatnya, mereka tidak tercatat dan seakan tidak terlihat, sehingga penyelesaian masalah sosial sulit terselesaikan.
Pada titik inilah, Sukhada Tatke di Al Jazeera menulis, kalau gagasan "Liberté, égalité, fraternité" yang selama ini diusung pemerintah hanyalah sebuah ilusi. Sebab, Prancis kenyataannya tetap menjaga para imigran dalam kerangka ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan pengucilan. Akibatnya muncul 'bom waktu' dari para imigran yang sukses membongkar kekurangan Prancis.
(mfa)