
Prancis Chaos! Mengapa Warga Berani Demo & Lawan Negara?

Jakarta, CNBC Indonesia - Prancis sedang tegang. Penyebabnya adalah gejolak amarah rakyat usai terjadi penembakan oleh polisi terhadap anak berusia 17 tahun bernama Nahel Merzouk di Paris pada Selasa (27/6/2023).
Semua bermula saat Nahel mengemudikan mobil dan melanggar lalu lintas. Polisi yang tidak terima mengejarnya untuk berhenti. Akibat tidak patuh, polisi pun menembak Nahel tepat di dadanya. Pemuda asal Nanterre itu seketika tewas.
Sejak itu, terjadilah aksi demonstrasi di beberapa titik di Ibukota Prancis. Semula aksi dilakukan seperti demonstrasi pada umumnya. Massa hanya berorasi, melakukan blokade jalan, dan membentangkan bendera dan spanduk berisikan kalimat protes.
Namun, berselang 1-2 hari setelah kejadian massa menjadi beringas. Aksi yang semula sebagai unjuk solidaritas berubah menjadi kerusuhan besar. Beberapa toko dirusak dan dijarah. Rumah walikota bahkan dibakar.
Sebagai negara yang punya reputasi paling gemar melakukan demo, warga Prancis tentu sadar aksi ini bukan sesuatu yang baru, apalagi aneh. Mungkin sebagian dari kita juga masih ingat bagaimana Paris juga dilanda kerusuhan usai ribuan orang menentang reformasi batas usia pensiun pada Maret lalu. Artinya, jika ditambah dengan kejadian ini, maka dalam semester pertama 2023 saja sudah ada dua unjuk rasa skala besar terjadi di Paris.
Fenomena ini kemudian memantik pertanyaan menarik: mengapa warga Prancis sering berdemonstrasi padahal bukan termasuk negara demokrasi besar?
Akar Sejarah
Demonstrasi, amarah dan terkadang darah, banyak memenuhi narasi sejarah Prancis. Sosiolog Charles Tilly dalam The Contentious French (1989) menyebut hal ini disebabkan sebagai reaksi atas pertumbuhan negara dan ekonomi kapitalisme Prancis. Jadi, saat politik Prancis semakin didominasi oleh negara pusat dan elit kapitalis, maka rakyat mulai mengembangkan kesadaran politik nasional.
Satu-satunya cara terbaik menyalurkannya adalah demonstrasi. Embrio awal dari aksi demonstrasi di Prancis menurut Zack Beauchamp di Vox sudah berlangsung sejak akhir abad ke-18.
Saat itu, muncul bentuk protes jalanan yang dilakukan sekelompok pemuda. Mereka yang disebut kelompok Charivari melakukannya tiap kali ada masalah sosial. Caranya pun sederhana. Tiap kali ada pelanggaran, mereka melakukan protes dengan memukul-mukul panci dan menuntut agar pelanggar keluar dari wilayahnya.
Dari cara sederhana ini, ditambah faktor yang disebut Tilly tadi, lahirlah evolusi bertahap menjadi demonstrasi politik massal skala besar. Beberapa aksi demonstrasi yang berujung kesuruhan mulai dilakukan di banyak wilayah dengan beragam sebab.
Namun, satu-satunya yang terbesar dan terdahsyat adalah rangkaian protes menentang kekuasaan Raja Louis XVI. Dalam episode yang disebut Revolusi Prancis itu, mereka berani menentang feodalisme, korupsi, dan hilangnya moral-etika keluarga kerajaan. Puncaknya terjadi pada 14 Juli 1789, ketika Istana Raja diserbu masyarakat yang berbuntut dipenggalnya kepala Louis XVI dan keluarga.
Menurut Frank L. Wilsom dalam "Political Demonstrations in France: Protest Politics or Politics of Ritual?" (1994, French Politics and Society), kejadian Juli 1789 memberikan dua pelajaran berharga dan membekas bagi warga Prancis generasi selanjutnya ihwal pentingnya berdemontrasi.
Pertama, bahwa aksi protes yang mereka lakukan dapat mengubah dan menentukan lembaran sejarah baru yang dicita-citakan. Kedua, mereka belajar bahwa untuk melakukan perubahan demonstrasi menjadi keharusan, bahkan harus berani unjuk kekuatan dan bertaruh nyawa untuk merebut kekuasaan.
"Protes diharapkan karena menghidupkan kembali kenangan revolusioner yang penuh warna," kata Frank.
Sejak itulah, protes kemudian menjadi bagian utama dari kehidupan nasional masyarakat Prancis. Warga tidak ragu mengungkapkan kekecewaan atau amarah mereka di jalanan.
Dorongan ini kemudian diperkuat oleh tingginya pemahaman sejarah gerakan demonstrasi di antara masyarakat Prancis dan harapan pemerintah yang ingin didemo warganya sebagai bentuk kebebasan berpendapat.
Kendati demikian, alasan sejarah bukan faktor tunggal yang memunculkan pandangan 'Prancis negeri pendemo'.
Johannes Lindvall dalam "The Political Foundations of Trust and Distrust: Reforms and Protests in France" (2011, West European Politics) turut menambahkan bahwa tingginya keberadaan serikat pekerja juga membuat negeri Menara Eiffel ini rentan demonstrasi.
Para serikat kerja punya massa kuat, sehingga mudah membuat mobilisasi untuk melawan pemerintah yang sering merugikan pekerja. Akibat sering dirugikan itulah, mereka menjadi takut dan makin berani turun ke jalan ketimbang melakukan perundingan.
"Tingginya tingkat aktivitas protes di Prancis merupakan hasil dari ketidakpercayaan antara pemerintah dan serikat pekerja yang tidak dapat dihindari. Atas dasar inilah, mereka sering melakukan mogok dan protes besar-besaran di jalanan." tulis Lindvall.
Ya, Linvdvall benar bahwa protes tidak dapat dihindari. Sebab sesuai kata Charles Tilly, kalau demonstrasi adalah "reaksi atas pertumbuhan negara dan ekonomi kapitalisme". Pada akhirnya, kuatnya pemahaman pergerakan di antara masyarakat dan banyaknya serikat pekerja membuat aksi demonstrasi di Prancis pasti dan akan terus terjadi.
(mfa/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Prancis Chaos Buat China 'Ngamuk', Ada Apa Xi Jinping?
