
Gila! Turki Kerek Suku Bunga Jadi 15%, Mata Uang Lira Ambrol

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Sentral Turki mengambil langkah moneter ekstrem dengan mendongkrak suku bunga utama hampir dua kali lipat dari 8,5% menjadi 15% dalam satu kesempatan.
Keputusan yang diketuk Kamis (22/6/2023) tersebut merupakan imbas kebijakan ekonomi baru dari Presiden Recep Tayyip Erdogan yang baru saja terpilih kembali sebagai presiden.
Bank mengatakan akan ada pengetatan moneter lebih lanjut secara bertahap sampai gambaran inflasi di negara tersebut membaik.
Kenaikan suku bunga 650 basis poin tersebut adalah yang pertama di negara itu sejak Maret 2021. Namun, besarannya masih di bawah ekspektasi analis yang meramalkan kenaikan hingga 1.150 basis poin menjadi 20%.
"Komite memutuskan untuk memulai proses pengetatan moneter untuk menetapkan jalur disinflasi sesegera mungkin, untuk menahan ekspektasi inflasi, dan untuk mengendalikan penurunan perilaku harga," tutur pernyataan bank sentral, yang dipimpin oleh Gubernur yang baru diangkat, Hafize Gaye Erkan, sebagaimana dikutip dari CNBC International.
Meskipun kenaikan tersebut tergolong ekstrem, beberapa analis mengkritik langkah bank sentral karena tidak cukup jauh menaikkan suku bunga tersebut.
"Aduh, mengecewakan. Tidak cukup," tulis Timothy Ash, ahli strategi pasar berkembang di BlueBay Asset Management, dalam sebuah catatan melalui email. "Mereka perlu menaikkan beban di depan. Pasar tidak akan menyukainya."
Lira Turki
Sementara itu, lira Turki melemah menjadi sekitar 24,1 terhadap dolar menyusul berita tersebut, dari 23,54 sebelum keputusan diumumkan. Nilai tukar tersebut menjadi rekor terendah.
Bahkan, pada pada penutupan perdagangan terakhir mata uang tersebut kembali melemah ke 24,97 per dolar AS.
George Dyson, analis senior di konsultan Control Risks, yakin akan ada kenaikan lebih lanjut untuk menaikkan suku bunga kebijakan hingga 20% atau lebih tinggi.
Menurutnya, Menteri Keuangan Turki Mehmet Simsek "harus sedikit berhati-hati". Saya yakin dia khawatir akan memicu krisis utang secara tidak sengaja dengan memperlambat ekonomi terlalu cepat," katanya.
Hamish Kinnear, seorang analis senior Timur Tengah dan Afrika Utara di firma intelijen risiko Verisk Maplecroft, sepakat dengan pernyataan tersebut.
"Ini adalah tanda bahwa gubernur baru berusaha melangkah dengan hati-hati untuk menghindari bentrokan dengan Presiden Erdogan . Gubernur bank sentral terakhir yang menaikkan suku bunga dipecat oleh presiden setelah kurang dari lima bulan menjabat," kata Kinnear.
Langkah Baru
Adapun, Turki terus menurunkan suku bunga kebijakannya dari 19% pada akhir 2021 menjadi 8,5% pada Maret di tengah inflasi yang meroket, menembus 80% pada akhir 2022 dan turun hingga di bawah 40% pada Mei.
Langkah Erdogan menurunkan suku bunga di tengah tingginya inflasi memang tidak biasa. Erdogan, yang menyatakan diri sebagai "musuh" suku bunga yang menyebut alat itu "ibu dari segala kejahatan", secara vokal mendukung strategi penurunan suku bunga.
Hasilnya adalah krisis biaya hidup bagi orang Turki karena mata uang negara itu, lira, anjlok. Mata uang tersebut kehilangan sekitar 80% nilainya terhadap dolar dalam lima tahun terakhir, dan Turki mendapati dirinya sangat rendah dalam cadangan mata uang asing karena menjual miliaran dolar dalam valuta asing untuk menopang lira.
"Erdogan telah menerima bahwa rasa sakit jangka pendek diperlukan untuk memperbaiki ekonomi, dan tampaknya memberdayakan Simsek akan menguntungkan pasar," kata Dyson.
"Pertanyaannya adalah berapa lama Erdogan akan menolerir rasa sakit itu, dan jika dan ketika tekanan masyarakat terlalu banyak dan dia merebut kembali kendali dari Simsek," katanya.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 5 Fakta Kemenangan Erdogan: Lira Ambruk-Respons Putin & NATO