Aturan Penghapusan Kelas BPJS Tak Jua Kelar, Ada Penghambat?

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
Jumat, 23/06/2023 09:09 WIB
Foto: Ilustrasi BPJS Kesehatan (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Regulasi yang akan dijadikan acuan untuk penghapusan sistem kelas 1, 2, 3 BPJS Kesehatan tak kunjung rampung, meski sudah dibahas sejak 2020. Regulasi yang dimaksud adalah revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Oleh karena itu, sudah sekitar 3 tahun dibahas namun tak kunjung rampung untuk bisa mengimplementasikan sistem kelas rawat inap standar (KRIS), timbul kecurigaan publik bahwa rencana penghapusan kelas itu banyak mendapatkan pertentangan dari berbagai kalangan di pemerintahan, sehingga pembahasannya terkendala.

Kendati begitu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehata Siti Nadia Tarmizi membantah kecurigaan itu. Ia menjelaskan, kendala yang menyebabkan revisi itu tak kunjung rampung hanya terletak pada kesiapan fasilitas kesehatan di RS yang belum merata.


"Ya tentunya ada beberapa pertimbangan ya, seperti misalnya kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan," ujar Nadia dalam program Nation Hub CNBC Indonesia, Jumat (23/6/2023).

Ia juga menekankan, dalam memberlakukan KRIS, masing-masing rumah sakit (RS) juga membutuh waktu untuk menyesuaikan dengan 12 standar yang telah ditetapkan pemerintah, khususnya untuk standariasi fasilitas ruang rawat inap kelas 3.

"Dan kita tidak ingin mengganggu sebenarnya layanan jaminan kesehatan yang saat ini memang sudah berjalan gitu. Jadi proses-proses ini tidak boleh terganggu dengan adanya KRIS yang akan kita lakukan sampai dengan di Juli 2025," ucap Nadia.

Oleh sebab itu, sambil menunggu RS siap mengimplementasikan KRIS mulai Januari 2023-Juli 2025, Nadia mengatakan, pembahasan secara keseluruhannya penghapusan sistem kelas dan satu tarif iuran itu tetap dilakukan, sebab sudah menjadi amanat Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

"Tentunya kita tahu bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 itu juga sudah mengamanatkan, mengarahkan ya, bahwa memang untuk adanya kesamaan dan keadilan standar daripada kelas perawatan, ini kita menuju ke arah sana," ucap Nadia.

Dari kalangan manajemen atau pengelola rumah sakit sebetulnya mayoritas setuju untuk standarisasi kelas tersebut, sebagaimanan disampaikan Sekertaris Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Tri Hesty Widyastoeti.

Tri mengatakan, ini berdasarkan angket yang telah diajukan terhadap 3.172 rumah sakit di Tanah Air saat digelarnya kajian bersama penyelenggaraan KRIS pada Mei 2022. Dari total RS itu yang mengisi angket adalah sebanyak 1.220 rumah sakit.

"Distribusinya ini sampai ke rumah sakit hampir semua wilayah di 33 provinsi yang menjadi cakupan Persi," kata Tri saat rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (22/11/2022).

Klasifikasi RS yang turut serta dalam angkat ini kata Tri mencakup mulai dari RS vertikal pemerintah pusat, RS perguruang tinggi negeri, RS BUMN, RSUD Provinsi, RSUD Kabupaten/Kota, RS Swasta, hingga RS TNI/Polri. Dengan kelas juga tercakup mulai dari A, B, C, D, maupun yang tanpa kelas.

Dari angkat yang diajukan itu, Tri menjelaskan, 91 persen RS sangat setuju dan setuju terhadap keharusan implementasi KRIS. Tapi, dia menekankan, 79 persen masih meminta implementasi terhadap 12 kriteria yang ditetapkan dalam KRIS adalah pada Desember 2024.

"Alhamdulillah 91 persen sangat dan setuju terhadap keharusan implementasi KRIS, kemudian 79 sangat dan setuju terhadap implementasi 12 kriteria pada Desember 2024, ada juga yang meminta diundur lagi," ujar Tri.

Sementara itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti memang sudah terang-terangan menolak definisi kelas rawat inap standar yang diungkapkan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Anggota DJSN Raden Harry Hikmat.

Keduanya mendefinisikan KRIS sebagai sistem satu kelas dengan satu tarif iuran pesertanya. Sehingga BPJS tak lagi perlu menyediakan layanan tanggungan kesehatan sosial untuk ruang rawat inap kelas 1, 2, dan 3 yang digunakan selama ini.

Menurut Ali Ghufron, jika nantinya konsep itu diterapkan maka sama saja menyalahi konsep asuransi sosial. Sebab, tidak lagi ada unsur gotong royong dalam pembiayaan jasa layanan kesehatan di rumah sakit jika tarif pesertanya ikut-ikutan terstandarisasi.

"Tadi dikatakan nanti iurannya satu, katanya ada yang menghitung Rp 70 ribu, itu menyalahi prinsip dasar asuransi kesehatan sosial karena asuransi kesehatan sosial dibangun atas unsur gotong royong, saling membantu, kalau si kaya, si miskin bayar sama, gotong royongnya di mana?" kata Ali Ghufron di Komisi IX DPR, Jakarta, Senin (20/3/2023).

Lagipula, dengan adanya konsep satu tarif iuran untuk satu pelayanan kesehatan di ruang rawat inap, Ali Ghufron melanjutkan, anggaran pemerintah belum tentu cukup untuk menaikkan besaran iuran yang mereka tanggung dalam cakupan Penerima Bantuan Iuran (PBI).

"Katakan pemerintah membayar Rp 42 ribu (iuran PBI saat ini) jadi Rp 70 ribu, atau Rp 35 ribu jadi Rp 70 ribu, dua kali lipat. Ada enggak uangnya? kita belum tanya Kemenkeu, jadi ini semua harus jelas menurut saya karena kalau membedakan iuran dan tarif masih persoalan, ini harus jelas," tuturnya.


(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Kelas di BPJS Kesehatan Bakal Dihapus - Iran Siap Lawan AS & Israel