
Bukti Ekonomi RI Sekarang Kebal dari Gonjang-ganjing Dunia

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah semakin optimistis perekonomian Indonesia masih akan stabil di tengah gonjang-ganjingnya ekonomi dunia, khususnya negara-negara maju di Amerika Serikat maupun Eropa.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu mengungkapkan, ini tergambar dari kinerja impor yang tumbuh kuat dari sisi barang modal, meskipun surplus neraca perdagangan menyusut ke level US$ 440 juta.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), dari total nilai impor pada Mei 2023 yang sebesar US$ 21,28 miliar, impor barang modal tumbuh tertinggi sebesar 60,30% yoy, diikuti impor barang konsumsi 36,51%, dan bahan baku atau penolong 4,42%.
"Itu belinya kan mahal, kalau barang impornya naik justru tanda-tanda bisnisnya melihat peluang jangka menegah panjang karena mereka investasi beli barang modal, jadi ini ada sinyal yang baik," ujar Febrio saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (16/6/2023).
Febrio menekankan, sinyal masih optimistismeya para pelaku usaha dari besarnya pertumbuhan impor barang modal itu memang menjadi kabar baik dari geliat sektor manufaktur ke depan. Tapi dia mengakui, pelemahan ekonomi dunia tetap harus diwaspadai karena berpotensi menurunkan permintaan.
"Tapi kita harus waspada tetap. Kalau impornya naik di bahan baku dan barang modal itu ada tanda-tanda geliat sektor manufaktur kita, dan harapannya walau trennya global melemah kita akan lihat peluang-peluang yang seperti itu," tegasnya.
Yang menjadi fokus perhatian pemerintah kata dia saat ini adalah melemahnya ekonomi negara-negara maju, seperti ekonomi Jerman pada kuartal I-2023 tercatat mengalami kontraksi 0,3% secara kuartalan, mengikuti kontraksi serupa sebesar 0,5% pada kuartal IV-2022.
Ekonomi Inggris pun pada kuartal I hanya tumbuh 0,1%. Demikian juga dengan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat yang hanya tumbuh 1,1%. Menurutnya ini sudah menjadi sinyal bahwa perekonomian global belum pulih total dari tekanan inflasi.
"Tahun ini kan kita lihat beberapa negara kita lihat Jerman kontraksi, Inggris masih berat, jadi negara-negara di Eropa memang berat. AS memang resiliensinya cukup baik, tapi itupun bukan pertumbuhan 2%, tapi 1,5-1,6%," ujar Febrio.
Di AS sendiri tekanan inflasi menurutnya masih menjadi momok meskipun Bank Sentral AS The Federal Reserve (The Fed) sudah mempertahankan suku bunga acuannya di level 5,0-5,25 persen. Sebab, tingkat inflasinya masih di kisaran 4%, belum ke batas normal di level 2%
"Ini apakah mereka masih akan menaikkan suku bunga atau nggak. Kalau kemarin kan sudah ditahan dulu itu kabar yang cukup menenangkan, tapi ini kan mereka harus turunkan inflasinya dan tingkat penganggurannya juga sudah terlalu ketat, ini yang harus kita perhatikan," ungkap Febrio.
Kendati begitu, di tengah kondisi itu, Indonesia masih mampu bertahan dengan tingkat suku bunga acuan yang terus dijaga BI di level 5,75 persen sejak Maret 2023, karena inflasi sudah ke level kisaran 4%. Oleh sebab itu, Febrio menekankan, ini juga menjadi tanda ketahanan ekonomi Indonesia dari pengaruh eksternal.
"Kita sebagai negara berkembang kan biasanya kena imbas kalau ada perubahan kebijakan di sana, bagusnya tahun ini kita relatif resilient, tapi tetap saja kita harus waspada," ucap Febrio.
(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi Sebar 'Virus' Baru di 2024: Optimis Dong!