UU Deforestasi Uni Eropa

RI Tiba-tiba Tak Jadi Gugat Eropa ke WTO, Ada Apa?

Martyasari Rizky, CNBC Indonesia
Selasa, 13/06/2023 17:17 WIB
Foto: Sejumlah produk minyak goreng di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Kamis (11/5/2023). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Uni Eropa (UE) telah resmi memberlakukan Undang Undang (UU) Deforestasi atau EU Deforestation Regulation (EUDR) per 16 Mei 2023 lalu. Akibatnya, produk pertanian Indonesia seperti minyak sawit akan terkena dampak UU ini.

Di mana, UU ini akan menutup ekspor bagi produk pertanian/perkebunan yang dianggap UE memicu deforestasi.

Menanggapi hal itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan, saat ini pihaknya masih belum akan melakukan gugatan balik ke organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO) terkait aturan UU Deforestasi tersebut.


"Belum sampai ke WTO, belum. Kemarin kan kita (pengusaha sawit) ke Brussels (Belgia) sama pemerintah. (Kunjungan tersebut merupakan) joint mission dengan Malaysia untuk kita melobi (UE) dulu. Jadi belum sampai ke sana (WTO)," ungkap Eddy kepada CNBC Indonesia, Selasa (13/6/2023).

Dalam pertemuan tersebut, kata Eddy, pihaknya bersama pemerintah telah meminta kepada UE untuk melihat langsung kondisinya seperti apa di Indonesia dan Malaysia, dengan dilakukannya peninjauan.

"Itu nanti biar Uni Eropa bisa ngerti itu. Makanya mereka akan meninjau ke kita (Indonesia) sama ke Malaysia seperti apa kondisinya. Jadi belum sampai ke WTO, belum," ujarnya.

Eddy menjelaskan, yang paling berdampak dengan adanya UU Deforestasi ini adalah petani sawit. Karena, kalau perusahaan secara prakteknya sudah total moratorium di tahun 2019. Artinya, perusahaan sawit di Indonesia sudah tidak ada lagi pembukaan lahan di atas tahun 2020.

Foto: Sejumlah produk minyak goreng di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Kamis (11/5/2023). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Sejumlah produk minyak goreng di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Kamis (11/5/2023). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

"Yang terkena dampak ini kan utamanya adalah petani. Kalau untuk Indonesia, perusahaan itu praktik sudah total moratorium di tahun 2019. Jadi tidak ada lagi pembukaan lahan di atas 2020. (Sedangkan UU Deforestasi) ini kan 31 Desember 2020, itu sudah tidak lagi, paling replanting yang ada," jelasnya.

Namun, lanjutnya, yang menjadi masalah adalah di sisi masyarakat. Sebab, merujuk UU Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan mewajibkan perusahaan sawit untuk menyediakan 20% dari total luas lahan Hak Guna Usaha (HGU) bagi fasilitasi pembangunan kebun masyarakat (FPKM).

"Yang jadi masalah adalah masyarakat. (Karena) perusahaan berkewajiban memfasilitasi pembangunan bermasyarakat itu 20%. Nah itu kan banyak juga yang belum melaksanakan itu, karena memang sedang diurus izinnya," terang dia.

"Nah itu tidak bisa dilaksanakan, artinya di UU Indonesia tidak bisa dilaksanakan kalau itu dianggap deforestasi. Jadi kan yang terkena adalah masyarakat," lanjutnya.

Lebih lanjut, Eddy mengatakan bahwa saat ini pihaknya dengan pemerintah sudah satu suara mengenai persoalan UU Deforestasi yang diterbitkan oleh UE.

"Kita sudah sama, pemerintah sudah satu bahasa dengan kita, kita support dan pemerintah juga akan support itu. Pemerintah sudah sangat mengerti ini merugikan untuk indonesia, bukan hanya merugikan untuk pengusaha, tapi ini merugikan Indonesia," tutur Eddy.


(wur/wur)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Setelah 9 Tahun, Perundingan IEU-CEPA Capai Tahap Akhir