Eropa Serang Habis Minyak Sawit RI, Ternyata Alasannya Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menyebut minyak nabati memiliki keunggulannya masing-masing, termasuk minyak sawit yang diproduksi Indonesia.
Hal ini yang membuat Eropa kerap melakukan serangan terhadap produk minyak sawit khususnya dari Indonesia. Mulai dari black campaign atau kampanye hitam lewat produk kemasan hingga yang terakhir adalah Undang Undang Deforestasi yang berlaku 16 Mei 2023 lalu.
Eddy menyebut salah satu keunggulan dari minyak sawit adalah minyak ini tidak akan rusak bila digunakan untuk menggoreng sampai dengan 100 derajat celcius, sehingga hasil gorengannya bisa lebih garing. Hal ini berbanding terbalik dengan minyak nabati lainnya yang tidak bisa digunakan untuk menggoreng dengan suhu panas.
"Masing-masing minyak nabati punya keunggulan sendiri. Contoh minyak lain (seperti minyak bunga matahari, minyak kedelai, hingga minyak jagung) tidak bisa untuk menggoreng sampai dengan 100 derajat celcius karena akan rusak," jelasnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (13/6/2023).
"Kalau minyak sawit tidak akan rusak, sehingga hasil gorengannya bisa crispy (garing)," imbuh Eddy.
Selain itu, Eddy menuturkan bahwa minyak sawit juga mengandung beta karoten (beta carotene) lebih tinggi dibandingkan dengan minyak nabati lainnya.
"Minyak sawit mengandung beta carotene tinggi dibandingkan minyak lain," ujarnya.
Artinya, minyak sawit dapat meningkatkan daya tahan tubuh yang sangat baik untuk melawan racun akibat radikal bebas. Karoten juga memiliki peran aktif dalam sistem komunikasi antar sel yang dapat meningkatkan kesehatan sel sehingga perkembangan sel kanker dapat dicegah.
Beta karoten merupakan senyawa yang dapat memberikan warna kuning, jingga, dan merah pada sayuran dan buah. Setelah dikonsumsi, tubuh akan mengubah beta karoten menjadi vitamin A (retinol).
Lebih lanjut, Eddy juga mengungkapkan alasan mengapa harga minyak sawit bisa jauh lebih murah dibandingkan harga minyak nabati lainnya, karena produksi dari tanaman sawit itu sendiri yang lebih ekonomis, efisien dan produktif dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya.
"Sawit kan paling ekonomis karena produktivitas lebih tinggi dari yang lain," ujarnya.
![]() Minyak goreng sawit di pasar modern (CNBC Indonesia/Martyasari Rizky) |
Sebagai contoh, paparnya, saat ini tanaman sawit rata-rata produksinya bisa menghasilkan 4 ton per hektare per tahun. Sementara tanaman penghasil minyak nabati lainnya (rapeseed) hanya bisa menghasilkan 900 kilogram per hektare per tahun.
"Contoh sawit rata-rata saat ini bisa menghasilkan 4 ton per hektare per tahun, sementara minyak lain rapeseed hanya bisa 900 kg per hektare per tahun, minyak yang lain di bawah itu semua," jelasnya.
Maka dari itu, harga dari minyak goreng sawit bisa lebih murah jika dibandingkan minyak nabati lainnya. Di mana tanah yang dipakai pun 1 berbanding 10 lebih kecil dari kedelai.
"Penggunaan lahan sawit jauh lebih kecil dibandingkan minyak nabati lain. Mereka kalah bersaing karena minyak sawit lebih ekonomis," imbuhnya.
Sementara itu Kepala Divisi Perusahaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Achmad Maulizal Sutawijaya menambahkan, saat ini produktivitas dari minyak kelapa sawit sebagai minyak nabati masih belum bisa tergantikan oleh minyak nabati dari jenis tanaman lainnya, seperti minyak bunga matahari, minyak kedelai, hingga minyak jagung.
"Saat ini produktivitas sawit sebagai minyak nabati belum bisa digantikan oleh minyak nabati dari jenis tanaman lain. Termasuk rapeseed, soybean, bunga matahari dan lainya yang merupakan produk unggulan petani Eropa," ujarnya kepada CNBC Indonesia.
Achmad menjelaskan bahwa ketahanan pangan merupakan isu global saat ini, di mana Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organisation atau FAO) melaporkan lebih dari 815 juta orang mengalami kekurangan gizi kronis.
Achmad mengklaim, minyak kelapa sawit sebagai komoditas yang memiliki tujuan pembangunan berkelanjutan PBB (SDGs) telah memainkan peran penting dalam menyediakan sumber pangan dunia, baik secara langsung maupun tidak langsung.
"Dan itu akan terus berperan penting dalam menghadapi tantangan ini (isu ketahanan pangan global)," kata Achmad.
Hal itu juga yang mendasari Uni Eropa (UE), lanjutnya, kebakaran jenggot hingga menerbitkan Undang Undang (UU) Deforestasi untuk menjaga pasar produknya, utamanya produk minyak nabati milik Eropa.
Untuk itu, Achmad berharap Indonesia dapat lebih giat dan intens dalam melakukan promosi sosialisasi dan advokasi sawit di dalam maupun di luar negeri.
"Untuk menjaga pasar produknya, Eropa melakukan langkah-langkah yang terlihat menyerang Kelapa Sawit. Padahal ini intinya adalah persaingan dagang semata," tukasnya.
(wur)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Mahal! Migor Asal Eropa 5X Lipat Sawit RI, Ini Sebabnya
