
Pertamina Jangan Gegabah Ambil Masela, Ini Masalahnya..

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Pertamina (Persero) saat ini masih dalam tahap negosiasi dengan perusahaan minyak dan gas bumi yang kini berbasis di London, Inggris, yakni Shell, dalam pengambilalihan hak partisipasi atau participating interest (PI) 35% Shell di Blok migas Masela, Maluku.
Namun, sebelum Pertamina memutuskan mengambil alih 35% saham Shell tersebut, perseroan dinilai tak perlu tergesa-gesa.
Praktisi Migas dan Ketua Alumni Teknik Perminyakan ITB Hadi Ismoyo menilai, jika Pertamina nantinya harus membayar 35% saham Shell di Blok Masela yang dikabarkan mencapai US$ 1,4 miliar atau sekitar Rp 20,8 triliun (asumsi kurs Rp 14.865 per US$) seperti yang ditawarkan Shell, maka ini adalah angka yang mahal dan tidak tepat.
"Jika keputusan ini adalah corporate action, maka langkah Pertamina masuk ke Masela terlalu mahal dan tidak tepat," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Jumat (09/06/2023).
Terlebih, lanjutnya, bila Blok Masela ini belum memiliki kepastian pembeli gasnya, maka ini berpotensi membuat pengembangan Blok Masela akan terus tertunda.
"Akuisisi suatu blok yang masih belum jelas GSA (Gas Sales Agreement)-nya dan kemungkinan development-nya delay and delay jika belum ada kepastian market gas," jelas Hadi.
Namun, Hadi menilai, jika pengambilalihan PI Shell di Blok Masela merupakan penugasan dari pemerintah ke Pertamina, maka pengambilalihan tersebut dinilai wajar. Namun, Hadi menekankan, keputusan tersebut nantinya harus dibekali dengan dokumen yang tepat agar nantinya tidak menimbulkan masalah di masa mendatang.
"Jika ini karena penugasan dari Pemerintah, karena Pemerintah sebagai pemegang saham Pertamina, ya sah-sah saja. Namun perlu didukung dengan dokumen yang proper, sehingga keputusan ini tidak dimasalahkan oleh pihak-pihak tertentu di kemudian hari," tandasnya.
Belum lama ini, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan bahwa proses negosiasi pelepasan hak partisipasi 35% milik Shell kepada Pertamina berjalan dengan lancar. Dia mengatakan proses negosiasi tersebut diharapkan akan selesai di bulan Juni 2023 ini.
Namun, pengambilalihan ini akan diserahkan secara mekanisme bisnis antarperusahaan.
"Itu progresnya sangat bagus mereka berdua, kan kalau pemerintah kan memfasilitasi, kalau mereka sudah bisa B to B ya let them do. Kita membiarkan mereka bekerja berdua. Kan progresnya bagus, kita tunggu mudah-mudahan di bulan ini lah selesai," jelas Tutuka saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (6/6/2023).
Adapun, Tutuka mengatakan bahwa kepastian Pertamina akan berkonsorsium dengan perusahaan migas asal Malaysia, Petronas juga bisa ditentukan setelah proses negosiasi antara Shell dengan Pertamina rampung di bulan Juni ini.
"Iya, saya kira (ditentukan bulan ini)," jawab Tutuka saat ditanya kepastian Petronas untuk berkonsorsium dengan Pertamina bulan ini.
Pada dasarnya, lanjut Tutuka, pemerintah hanya memfasilitasi proses pengambilalihan hak partisipasi Blok Masela antara Shell dan Pertamina. Tutuka mengatakan, asal keputusan yang diambil menguntungkan kedua belah pihak, maka pemerintah turut setuju atas keputusan tersebut.
"Bagi pemerintah, itu diserahkan kepada mereka. Itu (proses negosiasi) yang penting selesai dan sama-sama win-win dan sama-sama terpuaskan," tandasnya.
Di lain sisi, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan saat ini pihaknya tengah memfinalkan proses peralihan hak partisipasi tersebut dengan Shell. Namun demikian, ia tidak bisa berbicara lebih jauh karena terikat dengan non disclosure agreement/NDA atau perjanjian kerahasiaan.
"Masela kita tandatangan NDA jadi gak boleh dibocorin ini kejutan," ujar Nicke dalam Media Briefing Capaian Kinerja 2022, Selasa (6/6/2023).
Nicke menyadari saat ini masyarakat Indonesia tengah menantikan pengembangan Blok Masela. Oleh sebab itu, perusahaan migas pelat merah ini akan berkomitmen untuk segera mendevelop gas di blok jumbo tersebut.
"Tentu masyarakat sangat berharap giant block gas ini bisa segera develop maka masuknya Pertamina komitmen kami segera mungkin mendevelop agar gas di dalam perut bumi Masela bisa dimonetisasi dan menghasilkan pendapatan negara dan mengcreate ekonomi nasional," kata Nicke.
Padahal sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif sempat mengungkapkan "ancaman" terminasi kepada Shell. Pasalnya, bila lima tahun sejak rencana pengembangan atau Plan of Development (PoD) ditandatangani pada 2019 lalu Blok Masela tidak ada progres signifikan, maka blok gas jumbo ini bisa dikembalikan kepada negara.
"Kan 5 tahun kalau tidak dilaksanakan apa-apa kita akan tinjau kembali termasuk kemungkinan untuk itu (dikembalikan ke negara), ini kan sudah berapa tahun 2019-2023 udah 4 tahun, makanya kita ingetin aja ini, sekarang ini juga yang merasa dirugikan juga Indonesia," kata Arifin beberapa waktu lalu.
Blok Masela ini merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan ditargetkan bisa menghasilkan gas "jumbo" sebesar 1.600 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) atau setara 9,5 juta ton LNG per tahun (mtpa) dan gas pipa 150 MMSCFD, serta 35.000 barel minyak per hari. Blok Masela ini dikelola oleh Inpex Masela Ltd yang bertindak sebagai operator dan juga memegang hak partisipasi 65% dan sisanya 35% dimiliki oleh Shell.
Proyek ini dikatakan "raksasa" karena diperkirakan akan menelan biaya hingga US$ 19,8 miliar. Pengelola blok ini baik Inpex dan mitranya nantinya akan membangun Kilang Gas Alam Cair (LNG) di darat yang mulanya ditargetkan sudah bisa beroperasi pada 2027. Terbaru, operasional proyek ini diperkirakan mundur menjadi 2029.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pertamina Akui Aset Blok Masela Strategis, Tapi..
