
RI Mau Jadi Raja Baterai, Ini 3 Pemain Raksasanya

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia memiliki cita-cita untuk menjadi "raja" baterai kendaraan listrik dunia. Bukan tanpa alasan, besarnya sumber daya nikel di Tanah Air mendorong pemerintah untuk membangun ekosistem baterai kendaraan listrik terintegrasi dari hulu hingga hilir.
Bahkan, Indonesia ternyata merupakan pemilik sumber daya nikel terbesar di dunia. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2020 dalam booklet bertajuk "Peluang Investasi Nikel Indonesia", Indonesia disebut memiliki cadangan nikel sebesar 72 juta ton Ni (nikel). Jumlah ini merupakan 52% dari total cadangan nikel dunia yang mencapai 139.419.000 ton Ni.
Data tersebut merupakan hasil olahan data dari USGS Januari 2020 dan Badan Geologi 2019.
"Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, artinya Indonesia berperan penting dalam penyediaan bahan baku nikel dunia," tulis keterangan data tersebut.
Oleh karena itu, salah satu program yang didorong pemerintah yaitu pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel yang bisa diolah menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik.
Kementerian Perindustrian mendorong agar investasi pada smelter nikel dengan menggunakan proses hidrometalurgi atau dikenal dengan smelter High Pressure Acid Leaching (HPAL) dapat digenjot lebih masif.
Pasalnya, smelter yang mengolah bijih nikel kadar rendah di bawah 1,5% (limonit) menjadi produk Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) di Indonesia saat ini masih minim. MHP merupakan salah satu bahan baku utama penyusun prekursor katoda baterai kendaraan listrik.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian Taufiek Bawazier membeberkan, setidaknya saat ini baru ada tiga perusahaan smelter HPAL yang telah beroperasi.
Ketiganya yakni smelter milik PT Huayue Nickel Cobalt, PT QMB New Energy Material, dan PT Halmahera Persada Lygend.
Sementara, satu lagi yakni smelter milik PT Kolaka Nickel Indonesia yang masih dalam tahap studi kelayakan dan ditarget beroperasi komersial pada 2026.
"Ini 3 perusahaan yang beroperasi dan yang kedua konstruksi mungkin belum ada FS baru satu," kata Taufiek dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Kamis (8/6/2023).
Lebih lanjut, berdasarkan bahan paparan Taufik nilai investasi dari keempat proyek smelter tersebut mencapai US$ 4,88 miliar dengan kapasitas produksi olahan limonite mencapai 1,035 juta ton Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) per tahunnya.
Adapun keempat smelter tersebut diharapkan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 12.220 orang.
Berikut rincian 3 pemain di industri komponen bahan baku baterai kendaraan listrik tersebut:
1. PT Huayue Nickel Cobalt
Berlokasi di Sulawesi Tengah, perusahaan ini memproduksi MHP dengan kapasitas 400.000 ton per tahun.
2. PT QMB New Energy Material
Berlokasi di Sulawesi Tengah, memproduksi MHP dengan kapasitas 150.000 ton per tahun.
3. PT Halmahera Persada Lygend
Berlokasi di Kawasan Industri Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Perusahaan memproduksi MHP sebesar 365.000 ton per tahun dan juga nikel sulfat 240.000 ton per tahun. Operasional pabrik nikel sulfat baru saja diresmikan pada 31 Mei 2023.
PT Halmahera Persada Lygend dimiliki oleh Harita Nickel melalui PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) sebesar 45,1%, Lygend Resources Technology Co. Ltd sebesar 36,9%, dan Kang Xuan Pte Ltd sebesar 18%.
Jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) disebutkan mencapai 4.642 orang dan tenaga kerja asing (TKA) 812 orang.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Hati-Hati Pak Jokowi, Cadangan Nikel RI Bisa Habis dalam 11 Tahun!
