'Neraka' di Asean, Derita Orang Miskin Dihajar Cuaca Ekstrem
Jakarta, CNBC Indonesia - Panas terik di Asia Tenggara menjadi makin tak tertahankan dan berbahaya karena tingkat kelembapan yang tinggi. Ini merupakan kombinasi yang mematikan bagi manusia dan makhluk hidup lain.
Kelembaban, di atas suhu ekstrem, diketahui membuat tubuh manusia makin sulit untuk mencoba dan mendinginkan diri.
Akibatnya, hal ini dapat mendatangkan penyakit yang berhubungan dengan panas, seperti heat stroke dan heat exhaustion yang memiliki gejala parah dan dapat mengancam nyawa, terutama bagi penderita penyakit jantung dan masalah ginjal, diabetes, dan orang hamil.
"Ketika kelembapan di sekitar sangat tinggi, tubuh akan terus mengeluarkan keringat berusaha melepaskan kelembaban untuk mendinginkan diri, namun karena keringat tidak menguap akhirnya akan menyebabkan dehidrasi parah, dan pada kasus akut dapat menyebabkan serangan panas dan kematian," tutu kata Mariam Zachariah, rekan peneliti perubahan iklim pada World Weather Attribution (WWA) di Imperial College London.
"Itulah sebabnya gelombang panas lembab lebih berbahaya daripada gelombang panas kering," katanya, seperti dikutip CNN International.
Selain itu, peristiwa cuaca ekstrem juga mengungkap ketidaksetaraan sistemik, di mana temperatur ekstrem paling banyak menyerang orang miskin dan rentan.
"Pekerjaan, usia, kondisi kesehatan dan kecacatan, akses ke layanan perawatan kesehatan, status sosial ekonomi, bahkan jenis kelamin - ini semua faktor yang dapat membuat orang lebih atau kurang rentan terhadap gelombang panas," kata Chaya Vaddhanaphuti, salah satu penulis laporan WWA dan dosen di departemen geografi di Universitas Chiang Mai di Thailand.
Anggota masyarakat yang terpinggirkan, mereka yang tidak memiliki akses yang memadai ke perawatan kesehatan dan sistem pendingin, dan mereka yang bekerja dengan kondisi yang sangat panas dan lembab adalah yang paling berisiko mengalami tekanan panas.
"Penting untuk berbicara tentang siapa yang dapat beradaptasi, siapa yang dapat mengatasi, dan siapa yang memiliki sumber daya untuk dapat melakukan ini," kata Emmanuel Raju, penulis dan direktur Pusat Penelitian Bencana Kopenhagen, dalam konferensi pers pada Mei lalu.
"Bagi mereka yang bekerja di perekonomian informal, hari yang hilang berarti hari yang hilang dalam upah," kata Raju.
Laporan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) 2018 menyebut lebih dari 60% populasi pekerja di Asia Tenggara bekerja di pekerjaan informal, dan lebih dari 80% di Kamboja dan Myanmar.
Sebuah studi tahun 2021 menemukan bahwa pekerja luar ruangan di negara berkembang memiliki suhu tubuh inti yang lebih tinggi daripada mereka yang bekerja di dalam ruangan, dan mereka dua hingga tiga kali lebih berisiko mengalami dehidrasi, yang mengarah pada kemungkinan penurunan fungsi ginjal dan kondisi terkait lainnya yang lebih tinggi.
Di Thailand, pemerintah merekomendasikan tindakan reaktif, seperti tinggal di dalam rumah, cukup minum, mengenakan pakaian berwarna terang, dan menghindari makanan tertentu.
"Tapi itu tidak berarti bahwa setiap orang memiliki kapasitas yang sama untuk melakukannya," kata seorang pekerja bernama Chaya.
Beban biaya sering ditanggung individu, kata Chaya, sehingga menjadi tanggung jawab mereka untuk mengatasi panas.
Yang dibutuhkan, katanya, adalah rencana internasional yang kohesif yang dapat melindungi populasi yang lebih rentan dalam menghadapi peningkatan risiko perubahan iklim, dan tindakan proaktif untuk mencegah potensi masalah kesehatan.
Pemerintah perlu mengembangkan solusi skala besar, seperti sistem peringatan dini untuk panas, pendinginan pasif dan aktif untuk semua, perencanaan kota, dan rencana aksi panas, direkomendasikan oleh para ilmuwan Atribusi Cuaca Dunia dalam laporan mereka.
Panas Membara di Enam Negara Asia Tenggara
Analisis CNN terhadap data Layanan Perubahan Iklim Copernicus sebelumnya menemukan bahwa antara awal April dan akhir Mei, keenam negara di bagian benua Asia Tenggara telah mencapai suhu yang dirasakan mendekati 40 derajat Celcius (104 derajat Fahrenheit) atau lebih setiap hari. Ini di atas ambang batas yang dianggap berbahaya, terutama bagi orang dengan masalah kesehatan atau yang tidak terbiasa dengan panas ekstrem.
Di Thailand, 20 hari di bulan April dan setidaknya 10 hari di bulan Mei mencapai suhu yang terasa seperti di atas 46 derajat Celcius. Pada tingkat ini, tekanan panas termal menjadi "ekstrem" dan dianggap mengancam nyawa siapa saja termasuk orang sehat yang terbiasa dengan panas lembab ekstrem.
Sepanjang April dan Mei, Vietnam, Kamboja, Laos, dan Malaysia semuanya memiliki beberapa hari yang berpotensi menyebabkan tekanan panas ekstrem. Myanmar memiliki 12 hari dengan suhu panas.
Gelombang panas April-Mei di Asia Tenggara menyebabkan rawat inap yang meluas, merusak jalan, memicu kebakaran dan menyebabkan penutupan sekolah, namun jumlah kematian masih belum diketahui, menurut laporan Atribusi Cuaca Dunia.
Studi tersebut menemukan bahwa, karena perubahan iklim, panasnya lebih dari dua derajat lebih panas dalam suhu yang dirasakan daripada tanpa pemanasan global yang disebabkan oleh polusi.
Jika pemanasan global terus meningkat hingga 2 derajat Celcius , gelombang panas lembab seperti itu dapat terjadi sepuluh kali lebih sering, menurut penelitian tersebut.
Jika emisi terus meningkat dengan kecepatan yang sama, dua dekade berikutnya sudah dapat melihat 30 lebih banyak kematian per juta akibat panas di Thailand, dan 130 lebih banyak kematian per juta pada akhir abad ini, menurut proyeksi Cakrawala Iklim Manusia PBB.
(luc/luc)