
Presiden Terkaya Ini 'Dibunuh' AS Gegara Berani Buang Dolar

Jakarta, CNBC Indonesia - Banyak negara perlahan mulai tinggalkan dolar Amerika Serikat dan memilih mata uang lain untuk transaksi perdagangan. Dengan begitu, mata uang lokal mereka semakin 'merdeka' dan banyak digunakan dalam perdagangan antar negara.
Beberapa negara seperti China, Brasil, India, Meksiko, termasuk Indonesia sudah mengikuti arus dedolarisasi atau 'buang dolar'. Fenomena ini jelas membuat posisi dolar sebagai mata uang utama dunia terancam.
Fenomena ramai 'buang dolar' oleh sebagian negara sebetulnya bukan kali ini terjadi. Sekitar tahun 2009, ada pemimpin revolusioner yang berani mengusik kejayaan dolar di kawasan. Nama pemimpin itu adalah Muammar Khadafi (ejaan lain: Muammar Ghadafi), Presiden Libya yang lahir tepat hari ini 81 tahun lalu.
Khadafi memimpin Libya sejak 16 Januari 1970, sebelum digulingkan secara tragis pada 2011. Selama berkuasa 42 tahun, dia dikenal sebagai pemimpin paling berani menentang hegemoni Barat. Dalam Libya: The Rise and Fall of Qaddafi (2012), Alison Pargeter menceritakan sejak berkuasa Khadafi berani mengusir militer AS dan Inggris, sekaligus menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing.
Di tingkat kawasan, dia juga berani menciptakan kubu baru dalam perpolitikan global. Kubu itu berisi negara-negara dunia ketiga, tanpa melibatkan Uni Soviet (Setelahnya Rusia) dan tentunya AS. Pembentukan kubu itu bertujuan untuk menyatukan solidaritas guna melenyapkan imperialisme dan kedudukan Barat.
Lebih dari itu, tulis Ronald Bruce dalam riset "Terrorism and Libya Foreign Policy 1981-1986" (1986), Libya di era Khadafi juga terlibat dalam pusaran teror dan separatisme global. Lewat World Revolutionary Center, dia aktif memberikan dukungan terhadap aksi kekerasan dan gerakan separatisme. Di Indonesia, jejaknya terlihat pada eksistensi Gerakan Aceh Merdeka.
Praktis, Barat, khususnya AS, memandang Libya sebagai ancaman yang menghalangi langkah mereka. Bahkan, Presiden Ronald Reagan menyebut Khadafi sebagai "Anjing Gila dari Timur Tengah."
Kendati garang terhadap luar negeri, kondisi di dalam negeri justru bobrok. Dalam pewartaan BBC, selama dipimpin Khadafi, masyarakat Libya berada dalam cengkraman otoritarianisme dan kemiskinan. Sebesar 13% warga menganggur dan 16% keluarga berada di kondisi miskin. Warga juga tidak bebas menyuarakan pendapat.
Parahnya lagi, saat kondisi itu, Khadafi justru menyelewengkan kekuasaan untuk menambah harta. Perusahaan-perusahaan swasta dikendalikan keluarga Sang Presiden.
Dia pun kerap melakukan pesta dan membeli barang-barang mewah. Forbes bahkan menyebut Khadafi sebagai "Pria US$ 200 miliar" dan menobatkannya sebagai salah satu pemimpin dua terkaya setelah Raja Arab Saudi, Raja Thailand, dan Sultan Brunei Darussalam.
Setelah puluhan tahun, barulah posisi Khadafi mulai terancam pada 2009. Kala itu, mengutip laporan BBC, Khadafi yang memimpin Uni Afrika, ingin membuang dolar dan membentuk mata uang bersama antara negara Afrika bernama Gold Dinar.
Bahkan, persatuan ini bukan hanya sektor ekonomi, tetapi juga politik dan militer. Pada titik inilah, Barat mulai kehilangan kesabaran.
Dua tahun setelah mimpi itu disampaikan, malapetaka datang menghampiri Khadafi. Gelombang Arab Spring sejak 2010 yang menuntut perubahan dan kedatangan AS berserta NATO menggoyahkan kursi kekuasaan penguasa Libya itu.
Dari dalam negeri aksi demonstrasi besar-besaran terjadi. Sedangkan, dari luar negeri, AS bersiap menyerang Libya atas nama demokrasi. Hasilnya jelas membuat posisi Khadafi kian terpojok. Puncaknya terjadi pada Oktober 2011.
Kala itu, rombongan Khadafi yang sedang menuju Kota Misrata untuk kabur diserang pesawat NATO. Tercatat lebih dari 100 orang tewas, tetapi Khadafi berhasil selamat dan bersembunyi di got. Meski demikian, persembunyian ini tak berlangsung lama.
Beberapa jam setelahnya, dia ditemukan dan berhasil dibunuh massa tepat pada 20 Oktober 2011. Sejak itulah, Libya memasuki era baru. Alih-alih merasakan perdamaian dan demokrasi yang diimpikan penentang Khadafi, kini Libya justru berada dalam pusaran Perang Sipil.
(mfa/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Rencana Dedolarisasi Dinilai Masih Sulit, Ini Alasannya!