
Ini Solusi agar Harga Bawang Putih Tak Seperti Roller Coaster

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga bawang putih masih terus merangkak naik, hal itu berbanding lurus dengan ketersediaan pasokan yang semakin menipis.
Panel harga badan pangan mencatat, harga bawang putih hari ini, Rabu (31/5/2023) naik Rp 130 dari harga sepekan sebelumnya, menjadi Rp 36.750 per kilogram. Harga tersebut adalah rata-rata nasional di tingkat pedagang eceran.
Pengamat sekaligus Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menyebut lonjakan harga pada komoditas bawang putih merupakan buah dari kebijakan pemerintah yang perlu diperbaiki. Menurut dia, impor bawang putih seharusnya dibebaskan saja, tidak perlu ada kuota yang membatasi. Hal ini karena produksi bawang putih di Indonesia minim, hanya 5% dari kebutuhan konsumsi dalam negeri.
Sehingga nantinya jika impor sudah dibebaskan maka harga bawang putih pasti akan tertekan ke bawah karena pasokannya yang melimpah. Itu akan lebih menguntungkan konsumen.
"Kalau menurut saya sih bebaskan saja impornya, setiap perusahaan bisa mengimpor, gak usah pakai kuota-kuota segala, gak ada manfaatnya sama sekali. Nah kalau dibebaskan pasti harga bawang putih nanti akan tertekan ke bawah. Impor itu keuntungannya sangat besar," katanya kepada CNBC Indonesia, Rabu (31/5/2023).
Bahkan, Dwi menyebut Indonesia dalam memenuhi kebutuhan bawang putih di dalam negeri itu 100% sudah impor, bukan lagi 95% sebagaimana yang dikatakan oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas) sebelumnya.
"Kalau impor dibebaskan ya sudah, biar importir bersaing impor bawang putih sehingga yang diuntungkan konsumen terkait itu. Jadi ngapain dikasih kuota segala, itu permainan saja kuota itu, karena untungnya sangat besar, dan dipertahankan kuota itu. Seharusnya dibebaskan saja impor," lanjut dia.
![]() Penjualan bawang putih di pasar Kramat Jati, Jakarta, Senin (29/5/2023). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki) |
Sementara itu, yang memiliki kewenangan untuk menerbitkan Surat Persetujuan Impor (SPI) ialah Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dari Kementerian Pertanian (Kementan). Dwi mengatakan, sebetulnya tidak ada yang sulit dalam mengatur komoditas bawang putih, pemerintah hanya perlu membuka keran impor seluasnya untuk komoditas ini.
"Bawang putih pengelolaan paling mudah. Kalau saya sih nyebut 100% kita impor, susahnya di mana? Di sisi kebutuhan sudah jelas, bisa dihitung kebutuhan bawang putih di Indonesia berapa, kan tinggal sisi pasokan, pasokan 100% diimpor, terus sulitnya di mana," tukasnya.
Lebih lanjut, Dwi mengatakan sudah tidak mungkin bagi Indonesia untuk bisa memproduksi bawang putih sendiri dalam memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Sebab, bawang putih hanya bisa tumbuh optimal di dataran medium sampai dataran tinggi.
"Gak bisa. Karena bawang putih kan harus ditanam pada ketinggian tertentu, di atas 1.000 (mdpl)," ujarnya.
Selain itu, Dwi menjelaskan bahwa di ketinggian 1.000 mdpl bawang putih juga harus bersaing lahan dengan komoditas lainnya yang memiliki nilai jual lebih tinggi. Dengan biaya produksi bawang putih yang bisa mencapai Rp 18.000-21.000 per kilogram, sementara harga bawang putih hasil impor hanya dihargai sekitar Rp7.000-8.000 per kilogram. Maka sudah tidak ada lagi petani yang bersedia untuk menanam komoditas bawang putih.
"Itu dia (bawang putih) juga harus bersaing dengan komoditas-komoditas yang nilainya sangat tinggi, mana ada orang tanam bawang putih. Kan bawang putih kita panen di Tanjung Priok (hasil impor) itu hanya Rp7.000 atau 8.000 (per kilogram) lah paling. Sedangkan biaya produksinya (kalau produksi sendiri di dalam negeri) itu Rp 18.000-21.000, siapa yang mau tanam petani? Di lahan yang persaingan komoditasnya sangat ketat," terangnya.
"Jadi gak masuk akal aja ketika Mentan (Menteri Pertanian) dulu menyampaikan swasembada bawang putih tahun 2017, yah saya kritik itu, gak akan mungkin terjadi swasembada bawang putih, karena persoalannya bukan di situ," ujarnya.
Persoalannya, lanjutnya, itu ada di Bea Cukai, bukan dari aspek budi daya nya. "Maksud saya apa, impor bawang putih kan tarifnya 0, bagaimana petani kita bisa bersaing dengan bawang impor. Bagaimana bisa bersaing kalau biaya produksi Rp 18.000 - Rp 21.000 dengan bawang bawang putih impor panen di Tanjung Priok yang cuma Rp 8.000. Ya akhirnya malas lah, apalagi dia punya banyak pilihan untuk lahan-lahan itu di pegunungan, mereka punya banyak pilihan untuk komoditas-komoditas yang harganya relatif tinggi. Ya gak akan ada yang menanam. Kalau disebutkan 95% impor saya gak percaya, tapi 100% bawang putih kita dari impor," jelasnya.
"Jadi, bohong besar saja, retorika saja mau swasembada bawang putih, gimana caranya?," Imbuh dia.
Selama kebijakan tarif gak direvisi, katanya, swasembada bawang putih tidak akan pernah bisa tercapai. "Kalau kebijakan tarif direvisi sehingga nanti bawang putih impor harganya sama dengan biaya produksi yang ditanam petani ya barang kali baru bisa, walaupun masih banyak aspek lainnya. Misalnya terkait selera, dan lain sebagainya," lanjut Dwi.
"Sekarang konsumen Indonesia sudah tergiring dengan bawang putih impor, dari sisi rasa dan lain sebagainya," pungkasnya.
(wur)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Siapa yang Tanggung Jawab Bikin Harga Bawang Putih Meledak?
