
Deretan Biang Kerok Dunia Kacau, Sri Mulyani Tak Menyangka!

Jakarta, CNBC Indonesia - Sederet masalah muncul pasca pandemi covid-19. Baik yang bersumber dari pandemi itu sendiri, maupun hal baru namun memperburuk keadaan.
"Pasca pandemi tantangan kita tidak berarti makin mudah, tensi geopolitik menjadi faktor dominan," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat rapat dengan Badan Anggaran DPR, Jakarta, Selasa (30/5/2023)
Tekanan geopolitik ini kata dia semakin membuat dunia tidak menentukan karena seperti politik yang sulit ditebak ujungnya. Tergambar dari konflik Rusia dan Ukraina yang tak kunjung berakhir hingga perang perdagangan sejak 2017 yang malah makin menyebabkan fragmentasi dan deglobalisasi saat ini.
"Sama seperti politik unpredictable dampaknya. Jadi shock yang tidak bisa tercipta patternya, sedangkan kalau ekonomi kan bisa kita lihat bisnis cyclenya, yaitu boom and bust," ungkap Sri Mulyani.
![]() Paparan kelompok ekonomi makro. (Dok. Kemenkeu) |
Instrumen-instrumen yang biasanya digunakan dalam konteks ekonomi seperti fiskal hingga ekspor dan impor saat ini pun katanya sudah semakin dimanfaatkan oleh negara-negara dunia untuk menekan negara lain yang dianggap bukan sekutunya.
Maka muncul istilah re-shoring yang makin terbatasnya hubungan dagang, demikian juga friendshoring, decouping, hingga chip war. Selain itu juga ada tren dedolarisasi untuk mengalihkan penggunaan dolar.
"Kalau perang secara militer dan ekonomi sudah terjadi menyangkut komoditas yang menentukan perekonomian dunia, yaitu chip atau yang menopang digital tech," ucap Sri Mulyani.
![]() Paparan kelompok ekonomi makro. (Dok. Kemenkeu) |
Persaingan ekonomi negara maju dalam memitigasi perubahan iklim juga dimanfaatkan untuk memperuncing fragmentasi tersebut, misalnya dengan kebijakan AS yang mengeluarkan US Inflation Reduction Act dan Eropa mengeluarkan EU Carbon Border Adjustment Mechanism.
"Jadi perubahan iklim menjadi salah satu alasan untuk menggunakan instrumen fiskal di berbagai negara dalam memerangi perubahan iklim sekaligus tensi geopolitik," ucap Sri Mulyani.
Tekanan ekonomi dunia ini yang menyebabkan pemerintah mengambil sikap hati-hati dalam menentukan kerangka ekonomi 2024. Pertumbuhan ekonomi pun hanya ditarget di kisaran level 5,3% sampai dengan 5,7% pada akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Atas kondisi tersebut, Kepala Ekonom BCA David Sumual mengakui sulit memperkirakan kondisi ke depan. Terutama yang disebabkan oleh perang.
"Sulit memperkirakan (dunia bisa kembali normal) karena kan siapa yang bisa, konflik yang di Ukraina misalnya itu susah diperkirakan," kata Kepala Ekonom BCA David Sumual kepada CNBC Indonesia.
![]() Paparan kelompok ekonomi makro. (Dok. Kemenkeu) |
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan bahwa memerlukan waktu yang cukup lama untuk perekonomian dunia kembali pulih. Hal ini pun belum dapat diprediksi apakah akan menciptakan keseimbangan baru atau malah kondisi post-pandemic chaos.
"Butuh waktu cukup lama (untuk perekonomian pulih), apakah akan menuju pada new equilibrium atau keseimbangan baru, atau justru masuk pada kondisi post-pandemic chaos dimana variabel ekonomi menjadi sulit diprediksi dan fluktuasi ekonomi menjadi sangat cepat," jelas Bhima.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Terancam Gagal Maju, Kantor Sri Mulyani Rancang Ini!