
Jokowi Ungkap Tantangan Penerusnya: Harus Lebih Bernyali!

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia saat ini sedang terjerat sengketa hukum perdagangan di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Hal itu berkaitan dengan kebijakan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang melarang kegiatan ekspor bijih nikel.
Akibat itu, Indonesia digugat oleh Uni Eropa di WTO. Bahkan, pada Oktober 2022 lalu, Indonesia sudah dinyatakan kalah atas gugatan tersebut, namun pemerintah saat ini sedang berupaya melawan dengan melakukan banding.
Atas gugatan terhadap Uni Eropa itu, Presiden Jokowi meminta kepada Calon Presiden (Capres) RI setelahnya untuk memiliki nyali dalam menghadapi gugatan tersebut.
"Pemimpin yang bernyali, jangan sampai kita terima dihentikan begitu saja sama Uni Eropa. Tembaga kalau digugat AS kita jangan diam, saya itu selalu ngecek smelter, Presiden ngecek-ngecek smelter, supaya saya pastikan proyek berjalan kita dibohongin bertahun-tahun," ungkap Presiden Jokowi di Istana Negara, dikutip Selasa (30/5/2023).
Dia bilang, Presiden RI ke depan sangat menentukan untuk Indonesia menjadi negara maju melalui hilirisasi pertambangan.
"Jadi Presiden 2024, 2029, 2034 sangat menentukan ini, tinggal pilih saja. Siapapun pemimpinnya, kabinetnya orang-orang terpilih, kuat dan bisa bekerja detil, tidak bisa hanya makro saja, karena persoalan global rumit," ungkap Jokowi.
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Perdagangan Internasional Bara Krishna Hasibuan menjelaskan, belum matangnya industri hilir di Indonesia menjadi dasar WTO memenangkan gugatan Uni Eropa. Pemerintah dinilai tidak bisa menjelaskan bahwa kebijakan ini diambil untuk mendukung industrialisasi di Indonesia.
"Fasilitas pengolahan nikel itu dikatakan belum kuat. Jadi kalau industrinya sudah kuat itu bisa katanya dilakukan larangan ekspor terhadap komoditas. Tetapi kita kan juga pada saat sekarang sudah ada industri yang cukup banyak untuk mengolah nikel tersebut, itu sudah kami jelaskan dan itu tidak diterima. Tapi gak apa-apa, kan kita sudah memutuskan untuk banding," jelasnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (2/3/2023).
Meski demikian, pemerintah telah mempersiapkan argumentasi dalam upaya banding di WTO melawan Uni Eropa. Salah satunya yaitu dengan memastikan bahwa industri hilir dari produk olahan nikel di dalam negeri sudah kokoh.
"Sekarang ini kita betul-betul ngebut untuk memperkuat industri, terutama yang baterai EV. Nanti diharapkan kalau panel banding terbentuk yang diperkirakan 2024 walaupun itu tidak langsung mendengarkan kasus kita karena kasus kita ini ngantri di urutan 25. Jadi kalau kasus kita didengar tahun 2025 akhir misalnya, itu industri kita kan sudah kuat, jadi kita cukup yakin kalau argumentasi kita bisa diterima," kata dia.
Bara pun optimistis peluang Indonesia untuk memenangkan upaya banding di WTO cukup besar seiring dengan masifnya pembangunan proyek smelter di dalam negeri. Apalagi saat ini pemerintah juga tengah menggenjot ekosistem kendaraan listrik berbasis baterai.
"Nikel kan diambil dari bumi terus dikirim ke smelter kan untuk diolah. Bijih nikel itu kan bisa memproduksi besi dan bisa untuk baterai EV dua industri ini kan betul-betul kita dorong untuk bergerak lebih cepat," katanya.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Kalah Digugat Eropa, Jokowi: Banding, Banding, Banding!
