Harta Karun Ditemukan 25 Tahun Lalu, Nasib Masela Gak Jelas!

Verda Nano Setiawan, CNBC Indonesia
Senin, 29/05/2023 12:10 WIB
Foto: Blok Masela (Dok.Reuters)

Jakarta, CNBC Indonesia - "Harta karun" Blok Masela di Maluku telah ditemukan puluhan tahun lalu, bahkan sudah sekitar 25 tahun lalu. Namun sayangnya, hingga kini "harta karun" tersebut tak kunjung digali, alih-alih dimanfaatkan untuk kepentingan nasional.

Nasib pengembangan Blok Masela hingga kini masih tak jelas. Kondisi diperparah dengan rencana hengkangnya Shell dari proyek gas raksasa tersebut. Sejak beberapa tahun lalu Shell sudah memutuskan untuk keluar dari Proyek Strategis Nasional (PSN) ini. Namun sampai saat ini belum ada kepastian kapan Shell akan keluar dan siapa penggantinya.

Kondisi ini tak ayal turut membuat Pemerintah Indonesia, khususnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif murka. Arifin tak segan-segan mengungkapkan rasa kekecewaannya terhadap Shell.


Seperti diketahui, Shell memiliki hak partisipasi (Participating Interest/ PI) sebesar 35% di Blok Masela ini dan 65% selebihnya dimiliki oleh Inpex Corporation. Adapun operator blok ini yaitu Inpex.

"Inpex ada kesungguhannya, tapi gak tahu Shell. Ini udah mundur, gak bertanggung jawab!" ucapnya di Jakarta, Jumat (26/05/2023).

Praktisi minyak dan gas bumi (migas) Hadi Ismoyo menilai pemerintah selama ini cukup sabar mengenai progres pengembangan Blok Masela yang hingga kini masih jalan di tempat. Namun, kesabaran dan kemudahan yang diberikan pemerintah kepada Inpex selaku operator dan mitranya yakni Shell tidak dimanfaatkan dengan baik.

"Malah kabarnya mau dijual. Sehingga masa depan pengembangan Masela semakin tidak jelas," ujar Hadi kepada CNBC Indonesia, Senin (29/5/2023).

Menurut Hadi, apabila nantinya Blok Masela akhirnya kembali ke negara, semua pihak tentunya harus menghormati ketentuan tersebut. Berdasarkan rencana pengembangan atau Plan of Development (PoD) Blok Masela, blok gas ini bisa saja kembali ke negara apabila Inpex selaku operator dan mitranya yakni Shell tidak melakukan kegiatan hingga 2024.

Berdasarkan ketentuan dalam PoD yang disepakati antara pemerintah dan operator pada 2019 lalu, bila lima tahun sejak PoD ini ditandatangani, operator dan mitra tidak melakukan kegiatan apapun, maka blok ini akan ditinjau ulang atau bahkan bisa kembali ke negara.

"Namun perlu dilihat dengan detail apa yang menjadi kendala sehingga PoD menjadi mundur? Apakah operator kesulitan menemukan pasar gas yang ekonomis? Kenapa tidak dicari terobosan-terobosan yang realistis yang win win solution sehingga Masela bisa segera dikembangkan," kata dia.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai molornya pengembangan Blok Masela juga tak terlepas dari keputusan pemerintah. Utamanya pada 2016 lalu yang memutuskan mengubah skema kilang LNG yang semula terapung di laut menjadi di darat.

Kondisi ini kemudian membuat operator maupun mitra harus melakukan kalkulasi ulang mengenai biaya yang harus dikeluarkan. Hingga pada akhirnya Shell selaku pemegang hak partisipasi sebesar 35% memutuskan hengkang dari proyek tersebut.

"Nah ini konteks luasnya saya kira publik pemerintah juga perlu mengingat kembali kenapa ini jadi mundur jadi terkatung-katung, bahkan sampai dengan Shell memutuskan memundurkan diri begitu ya ini perlu diingatkan kembali," ujar Komaidi.

Namun, Komaidi juga menilai masalah ini perlu dicari jalan keluar bersama, antara pemerintah dan investor, baik Inpex maupun Shell.

"Sehingga saya kira perlu dicari jalan terbaik perlu diskusi lebih baik antara pihak, kalau pemerintah mengatakan Shell berbelit-belit coba lihat detail problemnya kira-kira berbelitnya ada di mana," ucapnya.

Perlu diketahui, kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi (Production Sharing Contract/ PSC) Blok Masela ini diteken pada 1998 yang menandai Inpex sebagai operator blok gas ini. Kontrak Blok Masela ini berlaku untuk 30 tahun.

Pada saat melakukan eksplorasi pada tahun 2000, kontraktor kemudian menemukan ladang gas Abadi dengan potensi 6,97 triliun kaki kubik (TCF) gas. Di blok itu juga terdapat Shell yang memiliki hak partisipasi 35%.

Setelah penemuan itu, Inpex kemudian menyerahkan rencana pengembangan atau PoD pertama di 2008 ke regulator hulu migas yakni BP Migas, yang sekarang berganti nama jadi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Pada Desember 2010, pemerintah menyetujui PoD pertama, yang mengajukan adopsi Floating LNG (gas alam cair) atau singkatnya sebuah pabrik lepas pantai dengan kapasitas pemrosesan tahunan 2,5 juta ton.

Namun, lima tahun setelah mengikuti penemuan cadangan gas tambahan di blok ini, Inpex meminta untuk merevisi kapasitas produksi LNG tahunan PoD-nya dari 2,5 juta ton menjadi 7,5 juta ton.

Di sinilah tarik ulur Masela terjadi, yang semula di PoD pertama fasilitas LNG ditempatkan di laut. Kemudian, ada pendapat yang mengatakan lebih baik fasilitas LNG Masela ditempatkan di darat karena akan membawa dampak lebih luas ke masyarakat.

Lalu, pada 2019 akhirnya disepakati revisi PoD dengan rencana pengembangan kilang gas di darat. Persetujuan revisi PoD Blok Masela ditandatangani pemerintah atau Menteri ESDM era Ignasius Jonan pada Juli 2019.

Blok Masela yang ditargetkan bisa menghasilkan gas sebesar 1.600 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) atau setara 9,5 juta ton LNG per tahun (mtpa) dan gas pipa 150 MMSCFD, serta 35.000 barel minyak per hari.

Proyek ini dikatakan "raksasa" karena diperkirakan akan menelan biaya hingga US$ 19,8 miliar. Pengelola blok ini baik Inpex dan mitranya nantinya akan membangun Kilang Gas Alam Cair (LNG) di darat yang mulanya ditargetkan sudah bisa beroperasi pada 2027.


(wia)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Bahlil Ingatkan Indonesia Jangan Kena Kutukan Sumber Daya Alam