
Erdogan-Israel: Sikap Negara Islam & Aksi Benci tapi Rindu

Jakarta, CNBC Indonesia - Recep Tayyip Erdogan berhasil terpilih sebagai presiden untuk periode ketiga, pada Senin (29/5/2023). Keberhasilan Erdogan mengamankan kursi kepresidenan disambut positif banyak pihak, mulai dari pemimpin dunia hingga rakyat jelata.
Respons ini tentu tidak terlepas dari tingginya popularitas Erdogan di dunia. Hal ini mengacu pada paparan survey Gallup International Index pada 2020 yang menempatkan Presiden Turki ini di posisi lima pemimpin terpopuler di bumi. Bahkan, jika disandingkan dengan pemimpin Islam lainnya, Erdogan sukses menempati posisi tiga. Dia hanya kalah dengan Raja Arab Saudi, Salman, dan Mantan Presiden Iran, Hassan Rouhani.
Kepopuleran pria kelahiran 26 Februari 2014 itu berkaitan erat dengan sikapnya dalam mengubah peta politik lokal dan regional sejak memimpin 20 tahun silam. Tidak sedikit umat Islam, khususnya di Indonesia, yang menganggap Erdogan sukses membawa kembali kejayaan Islam di Negara Transkontinental itu, yang selama ini terkenal sekuler.
Turki di bawah Erdogan juga dianggap sukses menghormati nilai-nilai agama dan punya sikap keras terhadap Israel. Meski begitu, sikap yang terakhir ini menimbulkan paradoks yang menarik untuk ditelaah.
Relasi Turki-Israel
Erdogan kerap menjadi figur utama tiap kali konflik Israel-Palestina memanas. Dia kerap menyerukan dan memprovokasi banyak negara, khususnya negara berpenduduk Muslim, untuk satu suara melawan Israel.
Contohnya terjadi saat muncul kekerasan terhadap jamaah Masjid Al-Aqsa oleh kepolisian Israel, pada April lalu.
Mengutip CNN International, lewat kantor kepresidenan, Erdogan menyatakan bahwa dunia Islam harus bersatu menentang serangan Israel di Palestina. Dia sekaligus mengajak negara Islam melanjutkan forum diskusi di berbagai forum internasional tentang status Al-Aqsa.
Sikap tegas Erdogan terhadap Israel ini menuai puja-puji dari banyak pihak. Meski begitu, hal ini justru bertentangan dengan sikap Turki itu sendiri yang sudah menjalin hubungan diplomatik resmi dengan Israel.
Malah, tak banyak yang mengetahui kalau Turki adalah negara mayoritas Muslim pertama yang mengakui kedaulatan Israel pada 28 Maret 1949.
Menurut pakar politik asal Israel Amikam Nachmani dalam Israel, Turkey, and Greece (1987), keputusan Turki mengakui Israel, bukan Palestina, sebagai negara berdaulat disebabkan faktor Perang Dingin.
Kala itu, Turki terancam diinvasi oleh Uni Soviet. Akibatnya, Presiden Mustafa Ismet Inonu meminta dukungan dan perlindungan Amerika Serikat. Namun, akibat dukungan AS tak cukup kuat, Turki mau tidak mau harus meminta bantuan anak kesayangannya, yakni Israel.
Shamir Hasan dalam "Turkey's Israel Policy Since 1945" (2008) menyebut, pemberian dukungan secara de facto (1949) dan de jure (1952) ini membuat bekingan Turki makin besar. Sebab, setelahnya dia didukung oleh AS, Israel, dan negara Barat lain.
Keputusan tersebut pada akhirnya membuahkan hasil. Turki pun tetap utuh sebagai negara berdaulat. Meskipun itu semua harus dibayar mahal karena Turki sering disebut pengkhianat oleh banyak pihak akibat dukungannya terhadap Israel, demikian tulis Saban Halis Calis dalam Turkey's Cold War (2017).
Panas-Dingin Turki & Israel
Tentangan banyak pihak tak membuat hubungan kedua negara sepanjang abad ke-20 luntur. Malahan, keduanya makin mesra. Barulah perubahan terjadi saat Partai AKP (Adalet ve Kalkınma Partisi) berkuasa pada 2002.
Agustina dalam risetnya berjudul "Komitmen Turki dalam Perwujudan Perdamaian Pada Konflik Israel dan Palestina di Bawah Pemerintahan AKP" (2020) menyebut, kepemimpinan AKP mengubah lanskap politik luar negeri Turki terhadap Israel.
AKP, yang bercorak demokrat-konservatif dan pro-Islam, mengambil sikap keras ke Negara Yahudi itu. Tokoh sentral AKP adalah Recep Tayyip Erdogan, yang menjabat Perdana Menteri pada 2003-2014 dan Presiden dari 2014 hingga kini.
Awalnya Erdogan tak galak terhadap Israel. Akan tetapi, pada 2009 dan 2010 ada peristiwa yang membuatnya marah.
Pada 2009, Israel kedapatan membantai 1.400 warga Palestina di Jalur Gaza. Erdogan kala itu berdiri paling depan mengecam tindakan biadab itu. Lalu, di tahun berikutnya, kemarahan elite Ankara makin tak terbendung ketika kapal bantuan Turki, Mavi Marmara diserang Israel. Tercatat 9 orang warga Turki tewas.
Sejak itulah Turki mengambil langkah tegas ke Israel. Apalagi usai tuntutan permintaan maaf Turki tak dilakukan Tel Aviv.
Mengutip BBC, Ankara dalam sekejap memutus kontak diplomatik Turki-Israel. Imbasnya, berbagai jalinan kerja sama politik dan militer yang sudah terjalin selama puluhan tahun terpaksa berhenti. Erdogan pun memilih makin mendukung gerakan perjuangan kemerdekaan Palestina.
Sebagaimana dilaporkan Al Jazeera, setelahnya hubungan berjalan pasang-surut dan memiliki pola serupa. Yakni, sesudah melakukan rekonsiliasi, pasti terjadi peningkatan tensi politik lagi.
Pada 2016, misalnya, Turki-Israel melakukan perjanjian rekonsiliasi. Para duta besar pun kembali bertugas. Namun, ini hanya bertahan dua tahun karena setelahnya Turki menarik duta besarnya di Tel Aviv dan mengusir utusan Israel dari Ankara.
Terbaru, tepat pada 2022, Erdogan kembali memulihkan hubungan dengan Israel usai bertemu Presiden Israel Isaac Herzog. Dan lagi-lagi, relasi kembali memanas karena sentimennya kepada Israel.
Kendati di politik hubungan memanas, bukan berarti di sektor ekonomi juga demikian.
Dalam analisis pengamat Timur Tengah Fatma Sariaslam di Turkish Policy, selama periode ketegangan tersebut, ekonomi kedua negara berjalan positif.
Pada 2011, setahun setelah pemutusan diplomatik, nilai ekspor-impor Turki-Israel mencapai US$ 2 miliar. Satu dekade kemudian nilainya pun mencapai US$ 6,4 Miliar. Artinya, kata Fatma, segala macam ketegangan tidak berdampak pada sektor ekonomi. Ini terjadi karena keduanya sudah terlibat dalam simbiosis mutualisme, yang jika berhenti akan merugikan kedua negara.
Masa depan Turki-Israel
Jurnalis yang kerap meliput politik Timur Tengah Seth J. Franztman, kepada The Jerusalem Post menyebut sulit untuk melihat perbaikan hubungan keduanya di masa depan. Argumen ini didasarkan pada corak fluktuatif masa lalu dalam hubungan kedua negara.
Meski begitu, dengan melihat pada tren perdamaian di Timur Tengah, bukan berarti kedua negara tidak melakukan hal serupa. Sebab, kata Seth, upaya pemulihan sebenarnya membawa kebaikan bagi Turki.
Turki bisa leluasa menekan Israel, atau bahkan menjadi juru damai Israel dengan negara Arab lain. Namun, lagi-lagi, tidak mudah melakukan itu melihat dinamisnya peta politik Timur Tengah
(mfa/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Turki Ancam Invasi, Israel: Nasib Erdogan Bisa seperti Saddam Hussein
