Cuan Hilirisasi Nikel Rp514 T, Sayang RI Cuma Kebagian Cerita
Jakarta, CNBC Indonesia - Hilirisasi adalah masa depan Indonesia. Ini adalah mimpi Presiden Joko Widodo yang coba dijalankan demi mendorong kejayaan Indonesia. Hilirisasi ini dimulai pada tiga tahun lalu, tetapi dampaknya dinilai tidak memberikan dampak besar.
Pada 2020, Jokowi sudah melarang ekspor bijih nikel ke luar negeri. Kegiatan larangan ekspor itu dibarengi dengan pengembangan hilirisasi nikel di dalam negeri.
Hingga saat ini, pemerintah mengklaim hilirisasi nikel ini pada 2022 lalu, telah mencetak nilai tambah sebesar US$ 33 miliar atau Rp514,3 triliun (kurs Rp15.585 per US$). Realisasi itu naik signifikan dari yang tahun 2021 mencapai US$ 20,9 miliar, bahkan dari tahun 2018-2019 yang hanya US$ 3,3 miliar.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenkomarves Septian Hario Seto menyatakan, pada tahun 2023 ini, nilai tambah dari hilirisasi nikel di dalam negeri bisa naik lagi, ditargetkan mencapai US$ 38 miliar atau Rp592,2 triliun (kurs Rp15.585 per US$) pada tahun 2023.
"(Tahun ini) sekitar US$ 35-38 miliar," kata Seto kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (10/5/2023).
Dia juga menyebutkan bahwa melonjaknya target nilai tambah hilirisasi nikel dipicu oleh bertambah pula volume ekspor produk hasil turunan nikel. "Iya," tandas Seto, saat ditanya mengenai apakah target tersebut turut dipicu oleh bertambahnya volume ekspor nikel di tahun 2023.
Kesuksesan ini membuat Jokowi yakin meneruskan ambisinya. Setelah nikel, timah, bauksit hingga tembaga juga masuk dalam daftar larangan ekspor ke depannya.
Jokowi menegaskan bahwa pihaknya akan melanjutkan pelarangan ekspor mineral mentah (raw material) ke luar negeri. Bijih bauksit akan dilarang pada Juni 2023 dan selanjutnya, Jokowi akan melarang ekspor tembaga.
"Kalah di WTO (soal nikel) kita tambah lagi stop ekspor bauksit. Nanti pertengahan tahun kita akan tambah lagi stop ekspor tembaga. Kita harus berani seperti itu," terang Presiden Jokowi dalam acara HUT PDIP ke-50, dikutip Rabu (10/5/2023).
Jokowi mengungkapkan larangan ekspor nikel mentah telah membuat Indonesia mendapatkan lompatan nilai tambah yang signifikan. Dari yang sebelumnya hanya berkisar Rp17 triliun menjadi Rp360-an triliun pada 2021 dan mencapai Rp 512 triliun pada 2022.
"Ini baru nikel, bauksit kemarin kita umumkan di Desember setop juga mulai Juni 2023 dan akan kita industrialisasikan di dalam negeri saya gak tahu lompatannya tapi kurang lebih Rp20 menjadi Rp60 - Rp70 triliun," tandas Jokowi.
Sayangnya, kebijakan hilirisasi yang disampaikan Jokowi dan jajarannya dinilai salah kaprah. Hal ini diungkapkan oleh Ekonom Senior Faisal Basri.
Menurutnya, industri adalah penopang perekonomian nasional. Sejarah Indonesia dan negara maju di dunia sudah membuktikannya.
"Hampir tidak ada negara yang sebesar Indonesia bisa digdaya jadi negara maju tanpa industri jadi ibaratnya industri tulang punggung, kalau tulang punggung bongkok jalan lambat," jelasnya.
Namun, industri akan menjadi optimal mendorong perekonomian berkelanjutan ketika diiringi peningkatan tekonologi.
"Dari tahun 1970 sampai 2020 pertumbuhan teknologi itu, istilah kasarnya total factor productivity pertumbuhannya minus lebih banyak berbasis otot dan keringat ketimbang otak," ujarnya.
Faisal mencontohkan soal hilirisasi nikel. Pemerintah telah melarang ekspor biji nikel pada 1 Januari 2020 dan mewajibkan biji nikel agar diolah terlebih dahulu di dalam negeri. Bahkan, seperti dijabarkan di atas, nilai tambah hilirisasi nikel mencapai ratusan triliun.
Namun yang terjadi, nilai tambah tersebut tidak dirasakan oleh masyarakat sepenuhnya, sebab hanya menguntungkan pengusaha besar. Bahkan salah satunya devisa hasil ekspor disimpan di luar negeri. Sementara itu, dia menilai China yang merupakan penampung nikel Indonesia, mendapat keuntungan besar.
"Yang terjadi kalau hilirisasi biji nikel diolah jadi pig nikel ekspor bukan dijadikan lanjutan industri kita hilirisasi malah menopang industrialisasi di China," kata Faisal.
Seharusnya langkah yang diambil adalah memaksa industri tersebut dari hulu sampai hilir berkembang di dalam negeri.
"Untuk biaya pembangunan kita cuma mengeruk sumber daya alam semakin dalam, China 94% ekspor industri manufaktur Indonesia cuma 40%, sisanya petik jual gak pakai otak," pungkasnya.
Sementara itu, deindustrialisasi justru melanda negeri ini. Sumbangan sektor industri atau manufaktur terhadap perekonomian atau produk domestik bruto terus tergerus. Berdasarkan data BPS andil sektor industri terhadap perekonomian hingga kuartal I 2023 tinggal 18,57% padahal pada awal 2020 masih di kisaran 19,87%.
"Jadi tinggal 18% padahal industri manufaktur penyumbang sepertiga penerimaan pajak, jadi penerimaan pajak turun, pengeluaran naik, defisit naik, dan arus utang naik," tegas Faisal.
(haa/haa)