
Prabowo Diminta 'Putus' Kebijakan Proyek Kebanggaan Jokowi

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom Senior Faisal Basri meminta pemerintahan yang baru di Indonesia yakni pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Terpilih Prabowo Subianto untuk memutus program yang dinilai tidak menguntungkan negara khususnya program yang dibanggakan oleh Presiden Joko Widodo yakni hilirisasi.
Seharusnya, kata Faisal, pemerintahan yang baru tidak melanjutkan program hilirisasi namun yang seharusnya didorong adalah program industrialisasi.
"Jadi jangan presiden baru melanjutkan kebijakan presiden sebelumnya. Kita harus putus ini apa yang dilakukan (Presiden) Jokowi, ternyata sesat untuk rebound bukan namanya hilirisasi tapi industrialisasi," ujarnya kepada CNBC Indonesia dalam program Central Banking, Senin (29/4/2024).
Dia menilai, program hilirisasi di dalam negeri saat ini hanya menguntungkan investor asing yang mana hal itu dinilai merugikan Indonesia. "(Hilirisasi) ugal-ugalan. Coba kita mengundang innvestor untuk membantu meningkatkan kesejahteraan kita, win-win kita sejahtera, investor untung. Nah kalau sekarang, ga semua ya, kita undang investor hasil yang didapatkan boro-boro 10%, 0 impas gitu, tapi minus," ungkapnya.
Adapun, dia mengatakan jika program industrialisasi dibangun di Indonesia maka hasil dari pemurnian khususnya pada sektor tambang tidak diekspor ke luar negeri dan bisa diproses di dalam negeri. "Kalau hilirisasi bijih nikel dikelola jadi fero nikel itu dibawa ke China, jadi industrialisasi yang harusnya dikembangkan," bebernya.
Selain itu, dia mengatakan khususnya pada hasil hilirisasi tambang nikel di dalam negeri yang digembar-gemborkan waktu masa kampanye sebagai solusi dari segala masalah, dia menilai justru program hilirisasi yang merugikan negara.
"Sekarang untuk kampanye ya apapun masalahnya, solusinya hilirisasi yang jelas-jelas merugikan bangsa Indonesia, (hilirisasi) nikel," imbuhnya.
Lebih lanjut, Faisal mengatakan permasalahan hilirisasi dalam negeri bermula dari hal yang struktural. Dia menyebutkan bahwa pemerintah terlalu banyak memberikan kemudahan bagi investor asing khususnya bagi China yang banyak berinvestasi fasilitas pemurnian dan pemrosesan nikel di Indonesia.
"Persoalan struktural karena kita akun defisit mulu karena bahkan waktu surplus 2022 tapi Rupiah melemah karena investor yang diundang untuk smelter, dari China semua diberikan kebebasan ada PSN semua insentif diberikan bahkan mereka dikasih subsidi," jelasnya.
Faisal juga mengatakan salah satu contoh insentif yang diberikan oleh pemerintah melalui sumber energi yakni batu bara yang jauh dari harga pasar.
"Contohnya harga batu bara rata-rata tahun 2022 US$ 345 per ton kalau kita ekspor US$ 345 per ton. Perusahaan China, smelter nikel, kan punya PLTU, pemerintah bilang tenang aja jangan khawatir harga batu bara naik, saya kasih saya iklas, kata penguasa oligarki saya kasih US$ 70 (per ton) gimana mereka nggak nari-nari," kata Faisal.
Dengan begitu, dia menilai seharusnya dengan pergantian pemerintahan yang akan datang, program hilirisasi diubah menjadi program industrialisasi.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Hilirisasi Nikel RI Dianggap Sudah Cukup, Ini yang Harus Dilanjutkan..