
Tenang! Utang RI vs AS Bak Bumi dan Langit, Ini Buktinya

Jakarta, CNBC Indonesia - Utang Amerika Serikat (AS) menembus US$ 31 triliun atau sekitar Rp 460.000 triliun (kurs Rp 14.900/US$) untuk pertama kalinya pada Oktober tahun lalu. Hingga saat ini, utang tersebut dipastikan terus naik.
AS pun menjadi negara paling berutang di dunia. Tak pelak, AS dibayangi risiko gagal bayar (default) jika pagu utang tidak dinaikkan.
Bengkaknya utang AS, dipicu oleh pandemi Corona (Covid-19). Saat itu, pemerintah AS harus menggelontorkan stimulus US$ 5 triliun guna menyelamatkan perekonomian.
"Kegagalan utang kami akan menghasilkan bencana ekonomi dan keuangan," kata Menteri Keuangan AS Janet Yellen kepada anggota Kamar Dagang Metropolitan Sacramento, dikutip Selasa (2/5/2023).
"Kegagalan akan menaikkan biaya pinjaman selamanya. Investasi masa depan akan menjadi jauh lebih mahal," tuturnya, dikutip dari Reuters.
AS diketahui belum pernah mengalami krisis utang. Meski utang terus membengkak, Amerika Serikat belum pernah mengalami gagal bayar.
Dari catatan Tim Riset CNBC Indonesia, Negeri Paman Sam tidak pernah lagi mencatat surplus anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sejak 1957. Amerika Serikat saat itu dipimpin Presiden Dwight Eisenhower, dan mencatat surplus sebesar US$ 2,2 miliar.
Sejak saat itu, Amerika Serikat terus mengalami defisit APBN. Artinya, negasa ini perlu menambah utang melalui penerbitan Treasury untuk membiayai belanjanya.
Kondisi ini mirip dengan Indonesia. Sama dengan AS saat pandemi, Indonesia pun harus berutang sana-sini. Lonjakan tertinggi terjadi di akhir 2020. Kemenkeu mencatat posisi utang Indonesia hingga akhir Desember 2020 mencapai Rp6.074,56 triliun. Jumlah ini naik Rp1.296,56 triliun dibandingkan posisi pada akhir 2019 sebesar Rp4.778 triliun.
Kemudian, pada akhir 2021, utang pemerintah tercatat sebesar Rp6.908,87 triliun, dengan rasio utang 41 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Hingga 31 Maret 2023, Kemenkeu mencatat utang RI tembus Rp 7.879,97 triliun atau meningkat Rp 17,39 triliun dari posisi utang pada bulan sebelumnya yang mencapai Rp 7.861,68 triliun.
Adapun rasio utang pemerintah, hingga 31 Maret 2023 mencapai 39,17% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Rasio itu naik jika dibandingkan dengan rasio pada Februari 2-23 yang mencapai 29,09%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati selalu mengungkapkan bahwa rasio utang Indonesia wajar dan aman dibandingkan dengan negara-negara G20.
Sri Mulyani menyampaikan kondisi rasio utang negara terhadap produk domestik bruto (PDB) atau debt to GDP (gross domestic bruto) di berbagai negara G20 dan Asean pada 2022.
Menurutnya, rasio utang pemerintah Indonesia berada di kisaran 39,6 persen. Rasio utang RI lebih rendah dari Korea Selatan yang berada di posisi keempat (54,1 persen). Namun, posisi Indonesia masih lebih tinggi dari Arab Saudi (24,8 persen) dan Rusia (16,2 persen) yang menempati posisi pertama dengan utang paling kecil di antara negara G20 dan Asean. Posisi rasio utang pemerintah tertinggi diduduki oleh Jepang yang mencapai 263,9 persen.
Sri Mulyani menegaskan bahwa tidak ada negara yang terbebas dari utang sama sekali. Dia pun mengklaim bahwa rasio utang RI di kisaran 39% masih terhitung sehat.
Warisan Utang Jokowi
Utang pemerintahan Joko Widodo selama menjabat dua periode, yaitu 2014-2022 telah meningkat hingga 189,6 persen. Utang yang meningkat itu pun diperkirakan akan membebani APBN pada masa pemerintahan mendatang di 2024.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini mengatakan, peningkatan utang tersebut sangat tinggi dibandingkan peningkatan utang masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Didik mencatat, pada akhir masa pemerintahan SBY, utang pemerintah pusat yang harus diwariskan ke Jokowi sebesar Rp 2.608,78 triliun. Sedangkan sebelum masa pemerintahan Jokowi berakhir, total utang kata dia telah meningkat menjadi Rp 7.554,25 triliun per November 2022.
"Ditambah BUMN Rp 2.000-3000 itu belasan triliun utang yang diwariskan pada pemimpin yang akan datang," kata Didik dalam diskusi Catatan Awal Tahun Indef 2023 secara daring, dikutip Selasa (4/2/2023).
Dengan besaran itu, Didik memperkirakan, beban utang itu akan sangat berat ditanggung oleh APBN pemerintahan presiden yang akan datang. Sebab, Indonesia akan melaksanakan pesta demokrasi pada 2024 dengan menyelenggarakan pemilihan umum.
Dia menambahkan kondisi peningkatan utang pemerintah pusat ini tidak terlepas dari buruknya perencanaan penganggaran pada masa Covid-19. Terutama setelah terbitnya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona.
"Awal COVID-19 itu sumber justifikasi krisis otoriter dilakukan dan DPR itu dia nggak bisa apa-apa dengan Perpu. DPR nggak diberikan kekuasaan apa-apa," ujarnya.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Merinding Lihat Utang AS Rp 460.000 T, RI Aman Gak?
