Nikel di Pulau Obi

Bukan Cuma Nikel, Pulau Obi Simpan 'Harta Karun' Tak Ternilai

Suhendra, CNBC Indonesia
Selasa, 11/04/2023 14:05 WIB
Foto: Harita Group Pulau Obi Maluku Utara. (Dok. Harita Group)

Jakarta, CNBC Indonesia - "Di Obi tak cuma nikel, tapi menyimpan macam-macam mineral, juga mistis sampai sejarah," bisik seorang pekerja tambang kepada saya.

Dua hari menginjakkan kaki di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara membawa saya berimajinasi, bagaimana pulau ini terus bersolek menjadi pusat penambangan dan smelter nikel, bagian proyek strategis nasional untuk mendukung pengembangan hilirisasi nikel di Indonesia Timur.

Membayangkan Pulau Obi yang luasnya sekitar 3.111 Km persegi, itu sama saja setara dengan kurang lebih 4,5 kali luas wilayah DKI Jakarta atau 4 kali luas Singapura.


Sejauh mata memandang lanskap Pulau Obi masih dominan pemandangan hutan hijau dan birunya laut Maluku. Sebagian lagi tampak bukit-bukit tanah merah yang sudah mengalami proses pengupasan penambangan nickle ore (bijih nikel), limonite maupun saprolite yang dilakukan oleh perusahaan pemegang IUP di sana, termasuk PT Trimegah Bangun Persada (TBP) Tbk Harita Group yang bermitra dengan Lygend Resources & Technology dengan membangun beberapa smelter.

Namun, yang cukup bikin kagum, Obi ternyata masih menyimpan 'harta karun' selain nikel, yang kondisinya masih terjaga, antara lain sumber daya air baku alami dari mata air sampai danau, flora dan fauna. Juga tak kalah penting, Pulau Obi menyimpan peninggalan heritage situs dari jejak pusat dan jalur perdagangan rempah-rempah dunia pada abad ke-17.

Mata Air 'Abadi' Obi

Di Pulau Obi, air jadi kunci penting bagi denyut kehidupan warga di Pulau Obi dan juga nadi kegiatan penambangan dan pemurnian mineral di pulau ini.

Di salah satu lembah kecil tepatnya pada lereng bawah bangunan-bangunan smelter Harita Group, Obi masih menyimpan 'harta karun' yaitu sumber mata air abadi yang kondisinya sangat baik. Mata air ini sebagai air baku yang dimanfaatkan oleh warga Desa Kawasi, Kecamatan Obi yang ada di sisi hilir mata air.

Foto: Mata Air Kawasi, Pulau Obi. (CNBC Indonesia/Suhendra)


CNBC Indonesia dan tim media lainnya sempat menyambangi sumber mata air yang diberi nama "Mata Air Kawasi" Sabtu (8/4/2023). Menurut penuturan warga di sana, sumber mata air ini memang tak pernah kering walau masuk musim kemarau.

Director of Health, Safety and Environment PT Trimegah Bangun Persada Tbk Tonny H. Gultom juga membenarkan soal mata air 'abadi' ini. Tonny memastikan perusahaan terus menjaga keberlangsungan mata air ini dari ekses kegiatan penambangan.

Pihak perusahaan juga terus melakukan pemantauan rutin soal kualitas mata air, dari sebelumnya dilakukan pengambilan sampel 3 bulan sekali, saat ini makin ketat sebulan sekali untuk diuji di lab independen di Kota Manado,

"Untuk mata air ini, kami memang tak pakai tapi kami terus melakukan pemantauan rutin memastikan tak ada pencemaran untuk sumber air baku warga," katanya di lokasi mata air Kawasi.

Pada kesempatan itu, tim dari TBP melakukan tes hasil cepat dari hasil sampel mata air Kawasi. Hasilnya air baku untuk warga kawasan tambang Pulau Obi ini sangat aman untuk sumber air baku.

Foto: Mata Air Kawasi, Pulau Obi. (CNBC Indonesia/Suhendra)

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen KLHK) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah, bahwa kadar Total Dissolved Solid (TDS) tak boleh lebih dari 2.000 Mg/L dan TTS atau kekeruhan air harus kurang dari 200 Mg/L.

Harita Group menganggarkan sekitar Rp 17,6 miliar di 2023 untuk penanganan masalah lingkungan termasuk menjaga kualitas air baku warga hingga penanaman kembali kawasan bekas tambang, hingga pengelolaan limbah tambang dan lainnya. Penggunaan terbesar untuk anggaran reklamasi dan menjaga kualitas air.

Benteng Kuno di Obi

Di wilayah kerja pertambangan Herita Group seluas 5.500 hektare di Pulau Obi, ternyata masih terselip sebuah titik penting sebuah reruntuhan benteng kuno yang lokasinya persis di pelabuhan yang biasa disebut pantai selatan (Pansel) Pulau Obi.

Saat CNBC Indonesia ke lokasi, tak banyak petunjuk yang bisa digali dari keberadaan reruntuhan benteng ini yang diperkirakan punya dimensi 6x6 meter persegi. 

Walau sudah hancur parah, ketinggian benteng ini diperkirakan sekitar 3 meter, dan di dalamnya ada ruangan yang kondisinya sudah tak utuh. Selain itu tampak cerukan yang diduga sebagai bastilon atau tempat laras meriam ditempatkan.

Foto: Benteng Belanda di Pulau Obi. (CNBC Indonesia/Suhendra)

Satu-satunya informasi yang tertulis adalah papan penjelasan yang tertulis sebagai 'Benteng Portugis', dan tulisan perlindungan terhadap benda cagar budaya. Reruntuhan benteng ini hanya satu dari diduga 40 lebih benteng yang tersebar di Maluku Utara, terutama peninggalan bangsa Eropa.

Pihak Harita Group, melalui Director of Health, Safety and Environment PT Trimegah Bangun Persada Tbk Tonny H. Gultom menjelaskan, saat awal eksploitasi tambang di Pulau Obi di 2010, pihaknya tak sengaja menemukan kawasan ini. Kemudian mencari sumber ke warga sekitar soal latar keberadaan benteng ini.

"Dulu saat kali pertama ditemukan, kondisinya tertutup pepohonan rimbun, warga sini pun takut ke lokasi ini. Namun, kami bersihkan lokasi benteng, dan merawatnya dengan memuat pagar pembatas agar terlindung," kata Tonny kepada CNBC Indonesia.

Ia bilang menjaga dan melindungi situs heritage di kawasan pertambangan salah satu tanggung jawab dalam penyelenggaraan proses penambangan yang memperhatikan aspek perlindungan heritage khususnya cagar budaya.

Berdasarkan laporan Atlas of Mutual Heritage, benteng ini diduga bernama Den Briel Fort atau biasa ditulis De Brill. Jejak benteng ini dikaitkan dengan upaya Belanda mencegah pedagang Eropa lainnya mengumpulkan rempah-rempah di pulau-pulau sekitar Obi, yang dulu masuk kekuasaan Kesultanan Bacan.

Gubernur Belanda di Maluku 1672-1674 Cornelis Francs awalnya membangun benteng kayu kecil di pantai barat Obi pada tahun 1674. Fort De Brill saat itu memiliki garnisun sebanyak 24 orang.

Foto: Benteng Belanda di Pulau Obi. (CNBC Indonesia/Suhendra)

Gubernur Belanda di Maluku 1677-1682 Robert Padbrugge memerintahkan pembangunan benteng batu dengan ukuran kecil pada tahun 1678 di lokasi yang sama. Selain benteng, kapal-kapal juga berpatroli di daerah dalam upaya mencegah penyelundupan rempah-rempah.

Sampai pada 1758 para garnisun yang ditugaskan di benteng akhirnya meninggalkan pulau itu karena dianggap sudah tidak sehat. VOC menempatkan batu penanda dengan logo dan huruf "N" di sekitar benteng, untuk menunjukkan bahwa itu adalah bagian dari wilayah Belanda atau Netherland. Benteng tersebut kini sudah rusak parah termakan zaman.

Sumber daya air, benda cagar budaya, dan lainnya yang tak ternilai harganya sepatutnya dilestarikan di tengah perubahan Pulau Obi yang disiapkan menjadi pusat bahan baku industri baterai listrik dunia dari tambang dan smelter nikel.

Simak terus kisah Pulau Obi, 'pulau harta karun' nikel Maluku Utara di artikel-artikel CNBC Indonesia selanjutnya!


(hoi/hoi)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Mulai 1 Juli 2025, Pertamina Naikkan Harga BBM Non-subsidi