'Musuh' AS Ramai Merapat ke Arab Saudi, Biden Kian Lemah?
Jakarta, CNBC Indonesia - Sebagai sekutu Amerika Serikat (AS), Arab Saudi kini mulai mengambil langkah-langkah di luar kebiasaannya. Negara yang dijuluki sebagai 'Negara Minyak' itu bahkan telah mendekati beberapa negara yang menjadi 'musuh' dari Negeri Paman Sam.
Langkah yang diambil Saudi itu sendiri dilatarbelakangi oleh hubungan kedua negara yang memburuk pasca Presiden AS Joe Biden berkuasa. Selama masa kampanyenya pada 2020 lalu, Biden telah menyudutkan Kerajaan pimpinan Raja Salman itu dengan menyebut Saudi sebagai negara 'pariah' karena isu HAM.
Tak hanya itu, Gedung Putih juga terus mengalamatkan tuduhan pembunuhan Jurnalis Jamal Khashoggi kepada Putra Mahkota Saudi, Mohammed Bin Salman (MBS). Torbjorn Soltvedt, analis utama MENA di Verisk Maplecroft, dalam sebuah catatan email tahun 2021 lalu mengatakan bahwa ini merupakan penghinaan bagi Saudi.
Tidak selesai sampai di situ, Biden juga sempat menilai bahwa dukungan AS kepada Saudi sehubungan dengan perang di Yaman harus dihentikan. Perang itu telah menciptakan apa yang disebut PBB sebagai krisis kemanusiaan terburuk akibat ulah manusia di dunia.
Langkah ini pun mulai mengundang reaksi dari Riyadh. Saudi pun mulai mengambil jalan yang berbeda dengan apa yang dipikirkan Washington.
Berikut beberapa negara 'musuh' AS yang didekati Arab Saudi.
1. China
Hubungan antara China dan Riyadh mulai menunjukan perkuatan. Pada tahun 2021, Arab Saudi disebut memproduksi rudal balistik dengan bantuan China. CNN International dan CNBC International menulis hal ini dari laporan badan intelijen AS.
Gambar satelit bahkan menunjukkan bahwa kerajaan tengah memproduksi rudal di sebuah lokasi. Mengutip pejabat AS, intelijen dikatakan mengungkap beberapa transfer skala besar teknologi rudal antar kedua negara.
Foto itu diambil oleh Planet, sebuah perusahaan pencitraan komersial, antara 26 Oktober dam 9 November. Operasi pembakaran terjadi di fasilitas dekat Dawadmi, Arab Saudi.
Sementara di 2022, beredar kabar bahwa Arab Saudi disebut sedang dalam pembicaraan aktif dengan China terkait penggunaan mata uang Yuan untuk membeli minyak. Hal ini disebut sebagai langkah baru guna mengurangi dominasi dolar AS di pasar minyak global.
Wall Street Journal menulis, pembicaraan ini sebenarnya sudah terjadi selama enam tahun terakhir. Namun ketidaksenangan Negeri Raja Salman pada komitmen keamanan AS pada kerajaan beberapa dekade ini membuat pembicaraan kian gencar.
"Arab Saudi marah atas kurangnya dukungan AS untuk intervensi mereka dalam perang saudara Yaman dan atas upaya pemerintahan Biden untuk mencapai kesepakatan dengan Iran mengenai program nuklirnya," tulis media itu mengutip sumber kala itu.
"Para pejabat Arab Saudi mengatakan mereka terkejut dengan penarikan mendadak AS dari Afghanistan tahun lalu," tambahnya.
Selain itu, Saudi juga telah bergabung dengan aliansi yang dianggotai Beijing, Organisasi Kerja Sama Shanghai (Shanghai Cooperation Organization/SCO).
SCO adalah aliansi politik dan keamanan negara-negara yang tersebar di sebagian besar negara Eurasia, termasuk China dan Rusia, yang notabenenya rival dari negara-negara Barat pimpinan AS.
Dibentuk pada 2001 oleh Rusia, China, dan negara-negara bekas Soviet di Asia Tengah, organisasi tersebut telah diperluas hingga mencakup India dan Pakistan, dengan maksud untuk memainkan peran yang lebih besar sebagai penyeimbang pengaruh Barat di wilayah tersebut.
2. Rusia
Hubungan yang baik antara Riyadh dan Moskow pun nampak di beberapa hal. Selain bergabungnya Saudi dengan SCO, Negeri Raja Salman itu tidak ikut menjatuhkan sanksi atau kecaman terhadap Rusia karena telah menyerang Ukraina, seperti yang dilakukan negara-negara Barat.
Pada akhir Januari lalu, MBS dan Putin mengadakan kontak dialog melalui saluran telepon. Di saat Barat mengembargo minyak Moskow, kedua pemimpin justru sepakat untuk menjaga kestabilan harga minyak.
Arab Saudi dan Rusia sendiri merupakan anggota dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak atau OPEC+. Sebelum perang Ukraina dimulai, Arab Saudi merupakan eksportir minyak nomor satu dunia sementara Rusia menyusul di peringkat kedua.
Dengan posisi ini, tahun lalu Saudi pernah diminta oleh Biden untuk menambah kapasitas produksi minyaknya untuk menetralisir kenaikan harga minyak dunia pasca perang Ukraina.
Namun, Saudi justru menolak permintaan Biden itu dan terus memotong produksi minyak. Riyadh beralasan bahwa ini disebabkan oleh permintaan yang melemah, dimana China waktu itu yang sedang mengalami lockdown.
Keputusan kartel minyak OPEC+ pimpinan negeri Raja bin Abdulaziz Al Saud ini pun memicu kemarahan di sekitar pejabat AS. Para pejabat mengatakan Biden secara pribadi kecewa dengan apa yang mereka sebut keputusan "pandangan sempit".
3. Iran
Saudi kemudian membuat kejutan lainnya dengan memutuskan untuk melanjutkan kembali hubungan diplomasinya dengan Iran. Padahal, Washington dan mitranya di Timur Tengah, Israel, masih memandang Teheran sebagai negara yang menyimpan ancaman regional besar.
Lagi-lagi. China berperan aktif dalam kesepakatan ini. Kesepakatan keduanya muncul saat perwakilan kedua negara bertemu di Beijing, China, pada pertengahan bulan lalu. Terlihat foto yang menunjukkan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran Ali Shamkhani berjabat tangan dengan penasihat keamanan nasional Saudi Musaad bin Mohammed Al Aiban.
Sementara itu diplomat paling senior China, Wang Yi, berdiri di antara mereka. Diketahui, Beijing merupakan inisiator perdamaian ini.
Wang mengatakan bahwa China akan terus memainkan peran konstruktif dalam menangani masalah hotspot dan menunjukkan tanggung jawab sebagai negara besar. Ia menambahkan bahwa China sebagai mediator yang beritikad baik dan dapat diandalkan, telah memenuhi pekerjaannya sebagai tuan rumah dialog.
Beberapa analis mengatakan bahwa ini merupakan bukti semakin kuatnya peran China pada arena politik global, mengalahkan AS. Mantan pejabat senior AS dan PBB Jeffrey Feltman mengatakan peran China adalah aspek paling signifikan dari perjanjian tersebut.
"Ini akan ditafsirkan, mungkin secara akurat, sebagai tamparan pada pemerintahan Biden dan sebagai bukti bahwa China adalah kekuatan yang sedang naik daun," kata Feltman, yang juga seorang peneliti di Brookings Institution, kepada Reuters.
Hal serupa juga diungkapkan Daniel Russel, diplomat top AS untuk Asia Timur di bawah mantan presiden Barack Obama. Ia mengatakan tidak biasa bagi China untuk bertindak sendiri untuk membantu menengahi kesepakatan diplomatik dalam perselisihan yang bukan merupakan salah satu pihak.
"Pertanyaannya adalah apakah ini bentuk yang akan datang. Mungkinkah itu menjadi pendahulu upaya mediasi China antara Rusia dan Ukraina ketika (Presiden Xi Jinping) mengunjungi Moskow?," terangnya.
4. Suriah
Selain Iran, Arab Saudi berencana untuk mengundang Presiden Suriah Bashar Al Assad untuk datang ke Riyadh pada Mei mendatang untuk menghadiri pertemuan Liga Arab. Hal ini terjadi tatkala AS membekukan hubungannya dengan Damascus karena menolak rezim Assad yang dirasa memicu perang saudara di negara itu.
Menteri Luar Negeri Saudi Pangeran Faisal bin Farhan akan melakukan perjalanan ke Damaskus dalam beberapa minggu mendatang untuk menyerahkan undangan resmi kepada Assad untuk menghadiri pertemuan puncak yang dijadwalkan pada 19 Mei itu.
Juru Bicara Sekretaris Jenderal Liga Arab, Gamal Roshdy, mengatakan organisasi itu tidak mengetahui setiap langkah di tingkat bilateral antara negara-negara Arab. "Kami tidak seharusnya diberitahu sebelumnya tentang dugaan kunjungan itu," tambahnya kepada Reuters, Senin (3/4/2023).
Kehadiran Assad di KTT Liga Arab akan menandai perkembangan paling signifikan dalam rehabilitasinya di dunia Arab sejak 2011, ketika Suriah diskors dari organisasi itu. Assad telah diboikot oleh banyak negara Barat dan Arab atas penumpasan brutalnya terhadap protes sipil yang memicu perang saudara.
(pgr/pgr)