
Nasib Silicon Valley Bank, Sudah Ambruk Tertimpa Tuntutan

Jakarta, CNBC Indonesia - Babak baru kasus ambruknya salah satu bank terbesar Amerika Serikat (AS), Silicon Valley Bank (SVB), terus berlanjut. Kali ini, direksi perusahaan induk SVB, SVB Financial Group, mendapatkan gugatan hukum.
Gugatan itu ditujukan oleh para investor SVB pada Senin (13/3/2023) di pengadilan federal San Jose, California. Menurut mereka, CEO SVB Financial Group Greg Becker dan CFO Daniel Beck menyembunyikan informasi terkait bagaimana kenaikan suku bunga dapat memengaruhi operasi perusahaan perbankan itu.
Hal ini tampaknya menjadi yang pertama dari banyak kemungkinan tuntutan hukum atas kejatuhan SVB. Bank itu sebelumnya bahkan disita oleh regulator AS pada 10 Maret setelah lonjakan penarikan deposito.
Berita itu muncul ketika gelombang kejutan dari jatuhnya SVB menghantam saham bank global lebih lanjut pada hari Selasa. Presiden AS Joe Biden telah menyerukan agar pelaku pasar tenang namun hal itu sepertinya tidak terjadi.
"Orang Amerika dapat yakin bahwa sistem perbankan kami aman. Deposito Anda aman. Biarkan saya juga meyakinkan Anda, kami tidak akan berhenti di sini. Kami akan melakukan apa pun yang diperlukan," kata Biden dikutip The Guardian.
Komentar Biden, bersama dengan tindakan darurat AS untuk menjamin simpanan pelanggan SVB dan menopang bank itu pendanaan tambahan, gagal menghilangkan kekhawatiran investor tentang potensi penularan di sektor perbankan.
Saham perbankan di Asia memperpanjang penurunan pada Selasa, dengan subindeks perbankan Jepang memimpin penurunan 6,7% pada awal perdagangan ke level terendah sejak Desember.
SVB telah mengejutkan pasar pada Jumat lalu dengan mengungkapkan kerugian setelah pajak sebesar US$ 1,8 miliar (Rp 27 triliun) dari penjualan investasi. Data ini dirilis tatkala SVB sedang berencana untuk meningkatkan modal untuk memenuhi permintaan dari pelanggan yang ingin mengakses simpanan mereka.
Rencana penambahan modal oleh SVB pun gagal, karena pasar khawatir melihat kondisi keuangan bank. Hingga Kamis lalu, penarikan modal dari SVB menembus US$ 42 miliar atau Rp 648,69 triliun.
SVB diperkirakan memiliki aset senilai US$ 209 miliar (Rp 3.214 triliun) dan deposito senilai US$ 175,4 miliar (Rp 2.698 triliun) sebelum keruntuhannya, yang merupakan kegagalan bank AS terbesar sejak krisis keuangan 2008.
SVB pun terpaksa menjual kepemilikan obligasi mereka senilai US$ 21 miliar (Rp 324,5 triliun) untuk mendapatkan dana. Sebagian besar obligasi yang dimiliki SVB adalah surat utang pemerintah AS.
SVB rugi besar karena nilai obligasi tengah jatuh. Kenaikan suku bunga agresif The Fed tersebut membuat yield atau imbal hasil surat utang melonjak tajam. Sebaliknya, harga obligasi ambruk.
Sebagai catatan, harga dan imbal hasil obligasi saling bertolak belakang. Yield yang naik menandai semakin berkurangnya atau turunnya nilai surat utang.
Keruntuhannya telah memicu kekhawatiran bahwa bank lain bisa rentan terhadap kenaikan suku bunga melalui paparan berlebihan terhadap jatuhnya harga obligasi.
Kenaikan suku bunga The Fed yang agresif membuat rencana penawaran saham perdana (IPO) start up tertunda. Kondisi ini membuat pengumpulan dana di luar IPO semakin mahal dan alih-alih mendapatkan modal, nasabah dan investor malah ramai-ramai menarik dana dari SVB.
Nasabah SVB, terutama startups, pun kemudian banyak yang menarik dana mereka dari SVB untuk memenuhi likuiditas mereka. Penarikan dana yang terus menerus membuat SVB goyang dan memicu kekhawatiran.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Bank Silicon Valley Kolaps Dalam 48 Jam