Sectoral Insight
Kolapsnya SVB Bikin Ngeri yang Pegang Saham Teknologi

- Kolapsnya Silicon Valley Bank membuat publik geger pada pekan lalu, suku bunga tinggi menjadi salah satu penyebabnya.
- Pemerintah AS memastikan Silicon Valley Bank tidak akan di-bailout, tetapi dana nasabah bisa dicairkan mulai Senin kemarin.
- Silicon Valley Bank berfokus pada dunia startup, keruntuhannya memberikan setimen negatif ke sektor tersebut.
Jakarta, CNBC Indonesia - Kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) hanya dalam waktu 48 jam membuat geger publik. Ini terjadi seiring para nasabah beramai-ramai menarik dana simpanan mereka di tengah kekhawatiran terhadap kesehatan bank terbesar ke-16 Amerika Serikat (AS) tersebut.
Sebelumnya, seiring kabar bank yang menyebut pihaknya butuh penambahan modal, harga saham induk Silicon Valley Bank, SVB Financial Group, anjlok lebih dari 60% pada Kamis lalu (9/3).
Kemudian, saham SVB kembali terjun bebas 60% pada sesi pre-market Jumat (10/3) hingga akhirnya perdagangan saham dihentikan.
Karena itu, SVB menjadi kebangkrutan bank AS terbesar sejak krisis keuangan 2008 silam.
Singkat cerita, SVB Financial menerima limpahan dana besar dari para nasabah seiring boom teknologi 2020-2021 silam.
Kemudian, dana deposan tersebut banyak diinvestasikan ke dalam obligasi pemerintah AS (Treasury bonds) tenor jangka panjang ketika suku bunga acuan masih rendah.
Namun, seiring bank sentral AS, The Fed, mengerek suku bunga lebih tinggi saat ini, nilai pasar dari Treasury tersebut praktis lebih rendah dibandingkan yang SVB bayarkan sebelumnya.
Alhasil, saat nasabah membutuhkan dana dan SVB terpaksa menjual efek-yang-tersedia-untuk-dijual, terutama dalam bentuk Treasury di atas, senilai US$21 miliar, bank tersebut mengalami kerugian US$1,8 miliar.
Kerugian tersebut dan masifnya permintaan penarikan dana oleh nasabah membuat SVB mengumumkan rencana penambahan modal senilai US$2 miliar. Sayangnya, itu menjadi sebuah rencana yang akhirnya membuat bangkrut bank tersebut.
SVB akhirnya ditutup pada Jumat pekan lalu dan kini tengah dalam pengawasan otoritas.Bank yang banyak membiayai dan menyimpan dana startup serta venture capital tersebut memiliki aset senilai US$ 209 miliar atau sekitar Rp3.228,1 triliun.
Mereka juga memiliki simpanan nasabah sekitar US$175,4 miliar atau sekitar Rp 2.709,1 triliun per akhir 2022.Dengan aset sebesar itu, SVB merupakan bank dengan aset terbesar ke-16 di Negeri Paman Sam.
Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen menegaskan tidak ada opsi bailout dalam upaya menyelamatkan SVB.
Yellen mengatakan pemerintah dan otoritas keuangan kini tengah menyiapkan sejumlah upaya penyelamatan bank pemberi pinjaman utama untuk perusahaan rintisan (startup) teknologi, termasuk dengan mencari investor baru ataupun menjual aset mereka. Namun, kata Yellen, bailout bukan opsi.
Lebih lanjut, regulator keuangan AS, termasuk Yellen, Ketua The Fed Jerome Powell dan ketua lembaga penjamin simpanan AS Federal Deposit Insurance Corp (FDIC) Martin Gruenberg, meluncurkan langkah darurat.
Regulator AS mengatakan, dana nasabah (deposan) di SVB aman dan mereka akan memiliki akses ke semua uang mereka pada Senin kemarin.
Khawatir Efek ke Pasar RI
Efek instan dari rontoknya SVB terlihat dari amblesnya saham perbankan AS pada perdagangan Kamis dan Jumat lalu.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga sempat merosot 0,51% pada Jumat. Indeks sektor jasa keuangan (IDXFINANCE) turun 0,70% dan indeks sektor teknologi (DXTECHNO) merosot 1,33%.
Sejumlah analis pasar Asia menyebut, krisis yang dialami SVB tidak akan berdampak banyak terhadap regional ini lantaran masih memiliki prospek pertumbuhan yang menjanjikan, basis nasabah yang beragam, dan punya kualitas aset yang baik pula.
Strategis di Morgan Stanley, Jonathan Garner, misalnya bilang, mengutip Bloomberg News (10/3), "Hal tersebut [kebangkrutan SVB] jelang menjadi kabar negatif untuk perbankan dalam artian Anda sekarang telah membuka pintu perdebatan soal kualitas kredit."
Namun, jelasnya, "Kekhawatiran untuk pasar Asia relatif ringan di mana pertumbuhan kembali berakselerasi dan kekhawatiran kualitas aset tidak selazim seperti tahun lalu."
Sementara, analis kepala investasi di Kamet Capital Kerry Goh menyoroti perbankan Indonesia.
"Di belahan dunia ini, saya paling khawatir dengan bank-bank baru di Indonesia yang memberikan pinjaman kepada perusahaan rintisan bernilai tinggi di ranah fintech dan tidak didanai dengan baik."
Goh menambahkan, "Ini bukan perbandingan yang sepadan, tapi ini [bank baru tersebut] tampaknya menjadi bagian yang paling berisiko tertular."
Selain ke bank, tepatnya saham perbankan, kabar rontoknya bank 'ramah startup' tersebut menambah pukulan baru untuk sektor teknologi RI, terutama pemain besar yang juga dikenal sebagai startup tech, seperti PT Bukalapak.com Tbk (BUKA), PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) hingga PT Global Digital Niaga Tbk (BELI).
Walaupun tidak memiliki dampak langsung, kabar tersebut semakin menambah sentimen negatif sektor tech akhir-akhir ini.
Tech winter yang dialami dunia startup teknologi seiring rezim suku bunga tinggi dan ketidakpastian global membuat investor meminta perusahaan-perusahaan tersebut untuk menekan kerugian dan berfokus pada profit.
Apalagi, daya tahan kas (cash runway) perusahaan-perusahaan tersebut tidaklah panjang.
Investor yang menekan untuk mengejar laba tersebut pada gilirannya membuat perusahaan berusaha mengenyahkan strategi 'pertumbuhan harga mati' ke jalur profitabilitas, yakni dengan meningkatkan monetisasi.
Shopee, misalnya, sudah membukukan contribution margin (CM)-sebagai indikator titik impas (breakeven)-positif per kuartal III 2022. Sedangkan segmen delivery Grab mengumumkan laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) yang disesuaikan dengan metrik tertentu (adjusted) positif pada kuartal ketiga tahun lalu.
Demi mengejar arus kas operasional positif, GoTo pada 16 Februari 2023 juga menyampaikan, target EBITDA yang disesuaikan perseroan akan positif pada kuartal empat 2023.
Selain itu, CM atau margin kontribusi Grup juga ditargetkan untuk positif pada kuartal pertama 2023. Ini artinya 4 kuartal lebih cepat dari target pada pedoman tahun sebelumnya.
Lebih lanjut, rasionalisasi beban juga dilakukan, seperti yang sedang terjadi dalam bentuk pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pengurangan beban marketing dan semacamnya.
Singkatnya, para investor saham penggemar emiten teknologi perlu berpikir ulang sekali lagi untuk menimbang 'kekuatan' para pemain teknologi utama RI di lingkungan makro yang penuh ketidakpastian seperti saat ini.
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research, divisi penelitian CNBC Indonesia. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau aset sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[Gambas:Video CNBC]
Warren Buffet Bantu SVB Cs, Ternyata Ada Udang di Balik Batu
(trp/pap)