Israel Gonjang-Ganjing, Militer Demo & Investor Ketar-Ketir
Jakarta, CNBC Indonesia - Gonjang-ganjing terjadi di Israel. Militer negara itu kini berdemo.
Terbaru, lusinan pilot angkatan udara Israel mengatakan mereka akan memboikot pelatihan militer yang direncanakan Tel Aviv. Apa alasannya?
Mereka menyebut hal ini sebagai penolakan atas reformasi hukum pemerintah yang dianggap mengancam demokrasi di Negeri Yahudi itu. Dalam surat yang dikirim ke kepala staf pada Senin (6/3/2023), 37 pilot mengancam tidak akan menghadiri hari pelatihan yang dijadwalkan Rabu.
"Kami akan terus melayani Yahudi dan Negara Israel yang demokratis setiap saat dan lintas batas," bunyi surat itu, dikutip AFP, Selasa.
"(Tetapi) kami telah memutuskan untuk mengambil satu hari istirahat untuk berbicara tentang proses mengganggu yang sedang dialami negara tersebut."
Reformasi peradilan telah menjadi landasan pemerintahan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu serta aliansi ekstrem kanan yang mulai menjabat pada akhir Desember. Netanyahu menyatakan perombakan peradilan adalah kunci untuk memulihkan keseimbangan antara cabang-cabang pemerintahan dalam sistem yang diyakini memberi hakim terlalu banyak kekuasaan atas pejabat terpilih.
Dalam undang-undang baru, kendali penuh peradilan akan berada di tangan pemerintah atas penunjukan yudisial. Ini akan melemahkan Mahkamah Agung negara hingga pada titik efektif mengakhiri perannya sebagai pengawas kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Meski begitu, langkah ini mendapatkan penolakan. Gelombang besar masyarakat berdemonstrasi sejak Januari untuk memprotes reformasi hukum, yang jika disahkan di parlemen, akan menolak hak Mahkamah Agung untuk membatalkan amandemen yang disebut Hukum Dasar.
Sementara itu, dinas militer wajib di Israel dan komponen cadangan sering dipanggil setiap tahun untuk periode terbatas. Namun, dalam beberapa minggu terakhir, panggilan oleh cadangan untuk menolak melayani telah meningkat.
Mantan menteri pertahanan Benny Gantz telah meminta semua pasukan cadangan untuk terus memenuhi tugas mereka. Ia beralasan ini untuk mempertahankan "keberadaan negara Israel".
Investor Ketar-Ketir
Kekacauan ini ternyata juga menarik perhatian investor. Tiga lembaga pemeringkat, S&P Global, Moody's, dan Fitch bereaksi.
Fitch mengatakan reformasi peradilan yang diusulkan "dapat berdampak negatif pada profil kredit Israel". Ini, tulis lembaga itu, melemahkan indikator tata kelola dan pemeriksaan institusional mengarah pada hasil kebijakan yang lebih buruk atau sentimen negatif investor yang berkelanjutan.
"Pengesahan aturan serupa di negara lain, yang katanya telah menyebabkan pelemahan signifikan indikator tata kelola Bank Dunia. Indikator-indikator tersebut memainkan peran penting dalam membentuk peringkat yang diberikan ke negara-negara," terang Fitch.
Fitch juga menunjukkan bahwa proposal yudisial di Israel menemui "masyarakat sipil yang kuat dan oposisi politik", yang pada gilirannya memecah belah masyarakat Israel. Israel adalah ekonomi terbesar kedua berdasarkan PDB di Timur Tengah setelah Arab Saudi.
Sementara Moody mengemukakan keprihatinan di mana keputusan itu akan berpengaruh pada kepercayaan investor dan rating mereka terhadap Negeri Yahudi itu. Pada gilirannya, hal tersebut berpengaruh dalam hal penggalangan dana investasi.
"Implementasi perubahan semacam itu jelas akan berdampak negatif bagi penilaian kami terhadap kekuatan institusi dan tata kelola, yang sejauh ini kami anggap sebagai fitur positif dari Profil kredit berdaulat Israel," tulisnya.
CEO MarketVector, Steven Schoenfeld, pun mengatakan dia yakin investor berhak mengkhawatirkan situasi di Israel. MarketVector mempertahankan indeks saham, termasuk Blue Star Fund, yang dibuat Schoenfeld untuk melacak saham Israel.
"Sebagian besar perhatian ada di bidang modal ventura dan ekuitas swasta Israel yang penting," kata Schoenfeld.
"Anda tidak dapat memisahkan unicorn dan startup Israel serta peningkatan dari pasar ekuitas. Saat pendanaan melambat, kita akan melihat dampaknya pada pasar saham, dan itu terjadi sekarang."
(sef/sef)