CNBC Insight

RI Harus Belajar! Subsidi Mobil Listrik Gagal di Negara Ini

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
Selasa, 07/03/2023 07:30 WIB
Foto: Bendera Amerika Serikat (Photo by Win McNamee/Getty Images)

Jakarta, CNBC Indonesia -  Pada Senin (6/3/2023) pemerintah resmi menerbitkan aturan pemberian bantuan pembelian Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) khusus mobil dan motor listrik. Aturan ini berlaku pada 20 Maret 2023.

Hadirnya regulasi ini menandai babak baru dalam keseriusan pemerintah mendorong publik beralih ke kendaraan listrik atau Electrical Vehicle (EV). Semua dilakukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan mengurangi emisi karbon. 

Subsidi EV adalah kebijakan umum yang dilakukan semua negara di dunia. Namun, tidak semuanya berhasil, termasuk di dalamnya Amerika Serikat (AS).


Kegagalan ini disampaikan oleh peneliti Harvard University, Ashley Nunes, dalam jurnal berjudul "Re-thinking Procurement Incentives for Electric Vehicles to Achieve Net-zero Emissions" (Nature, 2022). Penelitian itu menyimpulkan kalau kebijakan subsidi listrik untuk menggenjot penjualan EV di Paman Sam justru meningkatkan emisi gas rumah kaca, alih-alih menguranginya.

Jelas hal ini berbeda dengan tujuan awal penjualan EV yang bertujuan untuk menurunkan emisi karbon. Kok bisa?

Rupanya hal ini disebabkan karena target subsidi cenderung tidak adil dan salah sasaran. Elite Washington sendiri memang memberi insentif atau subsidi kepada masyarakatnya yang ingin membeli EV baru sebesar US$ 7.500 atau Rp 115 juta. Meski mengalami kenaikan penjualan, pada titik inilah Nunes melihatnya sebagai masalah.

Sebagai catatan, melansir laman Find My Electric, harga EV di AS berkisar antara US$ 26.750 sampai US$ 119.990. Harga tersebut sudah termasuk subsidi dari pemerintah. Dengan kisaran tersebut tentu hanya orang-orang kaya yang mampu membelinya.

Masalahnya, mereka membeli EV dan menjadikannya sebagai mobil sekunder. Maksudnya, tidak menjadikannya mobil yang digunakan sehari-hari. Dalam pengamatan Nunes, EV di rumah orang-orang kaya justru lebih sering berdiam di garasi selama bertahun-tahun.

Sedangkan, untuk mobilitas harian mereka tetap saja memakai mobil bensin atau diesel yang makin menaikkan kadar gas rumah kaca. Solusinya, menurut Nunes, adalah dengan menerapkan subsidi kepada kendaraan bekas yang menyasar kelas menengah ke bawah. 

Bagi kelas menengah ke bawah, harga EV yang sudah disubsidi tetap saja terlampau mahal. Karenanya mereka tetap membeli mobil bensin terbaru. Atau jika tetap ingin beralih ke EV mereka harus membeli secara bekas. 

Di sinilah ketidakadilan itu terlihat. Penjualan EV bekas jelas menguntungkan orang kaya sebagai pembeli awal karena mereka membelinya secara murah. 

Bagi kelas menengah ke bawah kepemilikan mobil difungsikan sebagai barang primer. Mereka akan terus menggunakannya untuk mobilitas sehari-hari. Jika memakai EV, maka mereka-lah aktor utama sesungguhnya yang berkontribusi menurunkan emisi karbon.

"Rumah tangga yang membeli dan memiliki kendaraan untuk jangka waktu yang lama atau sering menggunakan kendaraan mereka adalah target terbaik untuk menghasilkan manfaat lingkungan dari EV," kata Nunes. 

Maka, jalan terakhirnya adalah dengan mensubsidi pembelian kendaraan listrik bekas. Atau pemerintah juga bisa memberi opsi lain berupa subsidi pengisian daya listrik dan biaya perawatan kendaraan.

Berkaca pada kasus di AS sudah seharusnya pemerintah Indonesia melihat kasus ini agar tidak terjebak dalam kesalahan serupa. 


(mfa/sef)
Saksikan video di bawah ini:

GIIAS 2025 Resmi Dibuka, Menperin Pede Industri Otomotif RI Kokoh