Internasional
'Malapetaka' Pangan Ancam Asia, Bagaimana Nasib RI?

Jakarta, CNBC Indonesia - Asia Selatan kini menghadapi lebih banyak ketidakpastian terkait cuaca. Kondisi yang berfluktuasi telah memengaruhi produksi biji-bijian di wilayah tersebut, khususnya India, yang menyebabkan berkurangnya ekspor ke negara-negara yang menunggu pasokan.
Tak hanya itu, kekeringan yang membayangi juga bisa membuat India mempertahankan larangan ekspor gandumnya. Hal ini menimbulkan risiko baru bagi wilayah yang sudah menderita krisis pangan.
Departemen meteorologi negara itu sebelumnya mengatakan bahwa suhu yang lebih tinggi dapat memengaruhi tanaman gandum di negara bagian Punjab dan Haryana, di mana keduanya produsen utama.
Peluang yang lebih tinggi untuk curah hujan yang lebih sedikit selama musim monsun Juni hingga September, waktu yang sangat penting untuk produksi beras, juga dapat memengaruhi hasil dari pengekspor beras utama dunia.
Menurut Climate Trends, ada kemungkinan 60% kekeringan di India tahun ini karena fenomena cuaca yang disebut El Nino yang memanaskan Samudra Pasifik. Firma riset itu mengatakan negara itu memiliki peluang 3% untuk menerima tingkat hujan di bawah normal dan hanya 10% kemungkinan curah hujan normal.
"Jika negara bagian El NiƱo benar-benar muncul pada musim panas, kemungkinan besar kita akan melihat musim hujan yang defisit," kata Raghu Murtugudde, profesor emeritus di University of Maryland, dikutip South China Morning Post, Rabu (1/3/2023).
Itu akan menjadi berita buruk bagi India karena monsun membawa lebih dari 70% curah hujan tahunan anak benua itu dan dampaknya berlangsung sepanjang tahun. Inflasi ritel India naik ke level tertinggi tiga bulan sebesar 6,5% pada Januari, didorong oleh lonjakan tak terduga harga pangan yang dipimpin oleh sereal.
"Begitu harga mulai naik, biasanya akan berlanjut untuk beberapa waktu," kata Sujon Hajra, kepala ekonom di Anand Rathi Securities. Biasanya, inflasi makanan melemah di awal tahun, tetapi harga biji-bijian dan rempah-rempah telah mengalahkan ekspektasi, tambahnya.
"Sangat mungkin pemerintah India akan mempertahankan larangan ekspor gandum. Pada akhirnya, mereka harus mengontrol harga di dalam negeri," kata Hajra.
Adapun, India sangat rentan terhadap fluktuasi cuaca, kata para analis, karena sepertiga area produksi gandumnya rentan terhadap tekanan panas dan 65% lahan pertanian negara itu bergantung pada hujan.
Meski begitu, India juga tidak mungkin menghadapi kekurangan pangan karena mempertahankan stok biji-bijian yang besar dan memiliki cadangan devisa yang cukup. Tetapi produksinya yang lebih rendah dapat memperburuk harga dan memperburuk krisis pangan di antara tetangganya yang lebih kecil.
Asia Selatan memiliki salah satu jumlah penduduk kurang gizi tertinggi di dunia dan masalah terkait cuaca di India menimbulkan risiko baru bagi wilayah tersebut, seperti Bangladesh dan Nepal hingga Sri Lanka dan Pakistan.
Kondisi Indonesia
Ancaman 'malapetaka' pangan juga sejatinya tak hanya melanda Asia Selatan saja. Di Indonesia, kondisi serupa tapi tak sama juga terjadi.
Dalam konferensi pers Rabu (1/3/2023), Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa musim panen raya yang jatuh pada akhir Februari hingga Maret 2023 terancam cuaca buruk yang memicu banjir dan hujan deras di sejumlah wilayah Indonesia.
"Minggu-minggu terakhir Februari kita masuk masa panen dan akan berlangsung hingga Maret ini akan tetapi pada saat yang sama curah hujan masih tinggi di sebagain besar wilayah Indonesia," kata Pudji Ismartini, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, dia mengungkapkan kondisi cuaca berpengaruh pada masa panen. Adapun, sejumlah wilayah seperti Mojokerto, Bontang dan Sumbawa, mengalami banjir.
[Gambas:Video CNBC]
Awas Krisis Pangan, Luhut Ajak Orang RI Tanam Cabai Sendiri
(luc/luc)