Bukan Cuma Nikel, Ini Penyebab Uni Eropa Jengkel dengan RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Mantan Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) periode 2005-2013 Pascal Lamy buka-bukaan terkait dengan ketidaksukaan Uni Eropa (UE) kepada Indonesia.
Seperti yang diketahui, saat ini Indonesia sedang bersengketa hukum perdagangan dengan Uni Eropa di WTO perihal kebijakan larangan ekspor bijih nikel ke luar negeri. Namun bukan hanya itu, terdapat dua isu kontroversial lainnya yang membuat Uni Eropa jengkel dengan Indonesia.
Dua isu kontroversial tersebut yakni isu deforestasi dan perkebunan kelapa sawit.
Pascal Lamy mengisahkan, pemerintah Indonesia tidak suka dengan tindakan Uni Eropa yang berupaya mengurangi konsumsi minyak sawit dan menetapkan kelapa sawit sebagai tanaman berisiko tinggi terhadap deforestasi. Adapun saat ini proses dokumen gugatan yang disampaikan Indonesia kepada WTO terhadap Uni Eropa sudah berjalan.
"Ada dua isu kontroversial antara Indonesia dan Uni Eropa, minyak sawit dan deforestasi. Indonesia tidak suka dengan tindakan Uni Eropa mengurangi minyak sawit dan menetapkan kelapa sawit sebagai tanaman berisiko tinggi terhadap deforestasi dan Uni Eropa pun tidak suka dengan tindakan Indonesia," ungkap Pascal Lamy kepada CNBC Indonesia dalam Mining Zone, dikutip Rabu (22/2/2023).
Seperti diketahui, minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) Indonesia kerap menjadi perdebatan dunia internasional karena isu deforestasi. Namun, Indonesia berhasil membuat kemajuan dengan menurunkan deforestasi secara signifikan.
Awal mula CPO Indonesia tertiup angin kurang segar diawali pada laporan Time Toast, pada 1 Januari 2007, bahwa organisasi PBB menilai produksi minyak sawit sebagai penyebab utama deforestasi di Indonesia, di mana pembalakan liar dan penanaman kelapa sawit lazim terjadi di 37 dari 41 taman nasional.
Dampak dari deforestasi ini tentunya tidak kecil. Mulai dari berkurangnya hutan primer (hutan yang belum pernah disentuh oleh manusia), punahnya spesies yang dilindungi dan keanekaragaman hayati, serta pemanasan global. Hal ini jelas mengkhawatirkan mengingat hutan Indonesia merupakan salah satu paru-paru dunia.
Akibat hal itu, pada April 2017 Parlemen Uni Eropa menerbitkan resolusi tentang minyak kelapa sawit dan deforestasi hutan hujan. Tujuan akhirnya yakni melarang impor kelapa sawit yang tidak sesuai dengan pembangunan berkelanjutan, serta produk turunannya pada 2020 ke wilayah UE. Resolusi tersebut juga mendesak agar minyak kelapa sawit tidak dimasukkan pada kategori bahan baku dalam program biodiesel UE pada 2020.
Pada awal 2019, Eropa menerbitkan Delegated Regulation yang merupakan turunan dari Renewable Energy Directive II (RED II), di mana kelapa sawit dianggap sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan atau dikenal dengan deforestasi atau indirect land-use change (LUC).
Dalam situs resmi Europa.eu, RED II telah menargetkan pengurangan emisi karbon hingga 40% pada 2030. Demi mencapai target tersebut, Uni Eropa berupaya untuk mengurangi konsumsi biodiesel sawit secara berangsur-angsur dan akan menghentikannya secara total pada 2030.
[Gambas:Video CNBC]
Hot News: Wakil RI Lawan WTO Hingga Rusia Perangi NATO
(pgr/pgr)