- Tahun 2024 menjadi tahun krusial karena menjadi puncak keemasan bonus demografi
- Banyak tugas berat pemerintah untuk memaksimalkan bonus demografi demi keluar dari middle income trap
- Peningkatan kualitas SDM serta menggalakkan industrialisasi menjadi PR berat pemerintah untuk keluar dari middle income trap
Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2024 menjadi periode terakhir di mana Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa mewujudkan visinya membawa Indonesia menjadi negara maju. Namun, data-data malah menunjukkan tugas sangat berat harus dituntaskan Jokowi.
Disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Presiden Jokowi menyadari bahwa tahun depan menjadi tahun krusial bagi pemerintah.
Pasalnya, 2024 diyakini akan menjadi tahun puncak keberadaan bonus demografi di Indonesia.
Tahun depan pun menjadi tahun penting untuk menuntaskan program-program untuk keluar dari jebakan negara pendapatan menengah harus mulai dilaksanakan.
"Tahun 2024 ini adalah tahun krusial terkait bonus demografi dan dalam program untuk lepas dari middle income trap," kata Airlangga mengulangi arahan Jokowi usai rapat kabinet terbatas di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (20/2/2023).
Indonesia telah mengalami bonus demografi sejak tahun 2012 dan puncaknya diperkirakan terjadi pada periode 2020-2035.
Bank of Japan dalam laporannya Demographic Changes in Asia and Japan's Economic and Financial Developments memperkirakan puncak dari demografi Indonesia adalah pada 2025.
Bonus demografi merujuk pada kondisi di mana jumlah usia penduduk produktif (15-64 tahun) lebih besar dibandingkan usia nonproduktif. Survei penduduk 2020 menunjukkan jumlah usia produktif Indonesia menembus 191,08 juta atau 70,72% dari total penduduk.
Namun, jumlah penduduk tidak lantas berjalan seiring kualitas. Fakta inilah yang menjadi tugas terberat Presiden Jokowi.
Bagaimana Jokowi meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) di tengah bonus demografi akan sangat menentukan kemampuan Indonesia keluar dari middle income trap.
Ada banyak cara untuk mengukur kualitas SDM di tingkat global. Salah satunya adalah, Human Development Index (HDI) United Nation Development. Program (UNDP).
Merujuk pada indeks tersebut, Indonesia menempati urutan 114 dari 191 negara pada 2021. Peringkat Indonesia naik sedikit pada 2020 yakni 116.
Namun, Indonesia kalah jauh dibandingkan negara ASEAN lain seperti Singapura (12), Malaysia (62), atau Thailand (66).
Cara lain untuk mengukur kualitas SDM adalah tingkat daya saing. World Competitiveness Yearbook (WCY) pada 2020 menempatkan daya saing SDM Indonesia pada peringkat 40 dari 63 negara dalam hasil survei mereka. Indonesia turun delapan peringkat dari tahun sebelumnya.
Merujuk pada Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Dunia juga menghitung Human Capital Index (HCI) untuk melihat sejauh mana peran pendidikan dan kesehatan terhadap produktivitas ke depannya. Pada tahun 2020, HCI Indonesia sebesar 0,54, berada pada peringkat 96 dari 175 negara.
Perkembangan kualitas SDM Indonesia sangat lambat meskipun pemerintah sudah menaikkan anggaran pendidikan dan kesehatan yang sangat signifikan dalam 10 tahun terakhir.
Sejak 2009, pemerintah telah melakukan pemenuhan mandatory anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Anggaran pendidikan pun bengkak150% dari Rp 216,72 triliun pada 2010 menjadi Rp 542,83 triliun pada 2022.
Anggaran kesehatan melonjak dari Rp 29,9 triliun apda 2010 menjadi Rp 255,4 triliun pada 2022.
Dengan melihat perkembangan lima tahun terakhir, perlu bagi Presiden Jokowi untuk kemudian mengedapankan kualitas penyerapan anggaran pendidikan dan kesehatan dari apda kuantitas.
Pasalnya, penyerapan anggaran pendidikan dan kesehatan di daerah lebih banyak terserap untuk belanja pegawai.
Tugas berat lain Presiden Jokowi pada tahun krusial 2024 adalah bagaimana meningkatkan pendapatan kapita sekaligus tax ratio.
Merujuk pada laporan Bank of Japan, pendapatan per kapita Jepang pada puncak bonus demografi mereka sekitar 1990 sudah menembus US$ 27.000.
Pendapatan per kapita menjadi penting karena hal itu menunjukkan kemampuan daya beli masyarakat. Juga, memenuhi kualitas SDM dan standar kesehatan.
Merujuk pada data BPS, pendapatan per kapita Indonesia pada 2022 baru menyentuh US$ 4.783,9.
Meningkatkan tax ratio juga menjadi penting karena menentukan berapa besar pembayar pajak yang bisa membantu perekonomian sekaligus menanggung program kesehatan pemerintah.
Bila Indonesia gagal meningkatkan basis pembayar pajak dan tax ratio maka hal ini akan menyulitkan generasi ke depan karena jumlah pembayar pajak akan berkurang sejalan berkurangnya tenaga kerja produktif.
Tax ratio Jepang pada 1990an di kisaran 18%. Data Kementerian Keuangan Indonesia menunjukkan realisasi tax ratio pada 2022 sebesar 10,41% dari PDB.
Namun, target tax ratio justru diturunkan menjadi 9,61% pada 2023.
Menggalakkan industrialisasi juga menjadi pekerjaan rumah berat yang harus dibereskan Presiden Jokowi sebelum mengakhiri jabatan pada 2024 mendatang.
Sektor industri memegang peran penting dalam menciptakan lapangan kerja formal, meningkatkan pendapatan per kapita, hingga membawa Indonesia ke negara maju.
Sayangnya, tingkat pertumbuhan sektor manufaktur di era Jokowi justru melambat.
Merujuk data BPS, rata-rata pertumbuhan industri pengolahan pada era Presiden Jokowi (2015-2022) hanya mencapai 3,3%.
Pertumbuhan pada 2020-2022 hanya 2,05%.
Padahal, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 menyebutkan target industri pengolahan pada 2020-2024 ada di angka 6,2-6,5%.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]