Transaksi Berjalan Surplus 1,3% dari PDB, Jangan Happy Dulu!

Hadijah Alaydrus, CNBC Indonesia
Senin, 20/02/2023 19:33 WIB
Foto: Kepala Departemen Ekonomi CSIS Jakarta, Yose Rizal Damuri (CNBC Indonesia/Anisatul Umah)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia mencatat transaksi berjalan sepanjang tahun 2022 naik signifikan mencapai US$ 13,2 miliar atau 1,0% dari PDB. Angka surplus ini lebih tinggi dibandingkan dengan capaian surplus tahun 2021 sebesar US$ 3,5 miliar atau 0,3% dari PDB.

Dari penelusuran CNBC Indonesia, surplus transaksi berjalan secara nilai ini merupakan yang tertinggi sepanjang masa. Namun, jika dilihat secara PDB, persentasenya merupakan yang tertinggi sejak 2009.

Menurut Bank Indonesia (BI), kinerja tersebut terutama didukung oleh peningkatan ekspor sejalan dengan harga komoditas global yang masih tinggi dan permintaan atas komoditas Indonesia yang tetap baik, di tengah impor yang juga meningkat seiring perbaikan ekonomi domestik.


Namun, surplus transaksi berjalan ini diperkirakan tidak akan bertahan lama. Efek durian runtuh akibat ledakan komoditas ini dinilai perlu diwaspadai pada tahun ini. Hal ini sejalan dengan tren penurunan harga komoditas.

Kondisi ini dibenarkan oleh Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri. Yose melihat ada kemungkinan besar tidak lagi terjadinya ledakan komoditas di tahun ini karena melihat terjadinya tren penurunan harga komoditas.

"Neraca pembayaran kita memang masih surplus dan masih cukup baik, tetapi itu lebih banyak disumbangkan karena windfall profit yang ada, windfall profit ini yang membuat neraca perdagangan kita cukup kuat. Oleh karena itu kalau windfall nggak ada akan seperti apa?" katanya dalam Media Briefing di CSIS, Senin (20/2/2023).

"Windfall ini bisa turun karena harga-harga sudah mulai turun, permasalahannya adalah windfall profit-nya hilang, belum lagi ada tekanan capital outflow, tekanan kaburnya uang-uang," lanjutnya.

Selain itu, Yose melihat kinerja ekspor tahun ini juga berisiko menurun mengingat produk-produk andalan ekspor Indonesia mengalami penurunan permintaan. Hal ini sebagai akibat dari kondisi perekonomian mitra dagang Indonesia yang melemah akhir-akhir ini.

"Produk-produk manufaktur yang dulu menjadi andalan seperti ekspor makanan, ekspor alas kaki, garmen dan furniture itu trennya malah menurun. Memang sudah membaik dibandingkan ketika pandemic, tapi trennya malah mengalami penurunan lagi dan ini akan jadi permasalahan di sisi neraca perdagangannya," jelasnya.

"Windfall profitnya sudah hilang tapi yang barunya (pengganti keuntungan) belum ada, karena permintaan globalnya belum baik," lanjutnya memperingatkan.

Sementara itu dari sisi neraca keuangan atau financial account, Yose menilai kondisi foreign direct investment (FDI) Indonesia juga tidak begitu cemerlang.

Pasalnya ia melihat FDI hanya terkonsentrasi pada beberapa sektor saja terutama sektor sumber daya alam (SDA) dan sektor padat modal, yang mana minim penciptaan lapangan kerja. Dan menurutnya ini sangat beresiko jika sektor-sektor tersebut mengalami tekanan. Untuk itu ia meyakini hal ini bisa disiasati dengan melakukan diferensiasi sektor FDI.

"Diferensiasi di dalam investasi kita, itu kuncinya. Sekarang FDI terkonsentrasi 25% itu di logam, manufaktur-manufaktur seperti elektronik bahkan itu ternyata tidak terlalu banyak juga mengundang investasi," jelasnya.

Selain itu, dia juga melihat resiko capital outflow masih akan terjadi karena suku bunga di luar negeri yang masih akan terus naik. Untuk itu, ia mendorong pemerintah untuk memperkuat market surat berharga negara (SBN) dalam negeri.

"Resiko capital outflow ini masih akan terjadi karena suku bunga yang masih akan meningkat terus di luar, hal ini membuat obligasi atau utang itu makin menjadi mahal ini juga tentunya berpengaruh terhadap transaksi di dalam SBN kita," jelasnya.


(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Transaksi Berjalan RI Q1-2025 Cetak Defisit USD 200 Juta